Monday, 25 November 2013

Menjawab golongan yang anti adanya bid’ah hasanah

Saya petik Nukilan Ustadz Abu Hilya bahawa setiap bid’ah adalah sesat, itu anggapan sebagian muslim yang anti adanya bid’ah hasanah. Anggapan itu terbukti salah akibat kekeliruan dalam memahami hadits “kullu bid’atin dhalalah”.Kesalahan mereka sudah dibahas dalam artikel-artikel terdahulu. Sungguh tidak benar anggapan sebagian muslim bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Generalisasi semua Bid’ah adalah Sesat, tampaknya merupakan wujud brutalisme halus sebagian muslim kepada muslim yang lain. Na’udzu billah min dzaalik.
Ketika sebagian muslim beranggapan setiap bid’ah adalah sesat, bagaimana dengan Sayyidina Umar bin al Khattab yang mengatakan ada bid’ah yang baik (hasanah)? Jika Setiap Bid’ah adalah sesat, bagaimana dengan Imam Syafi’i yang mengatakan ada Bid’ah Hasanah (bid’ah yang baik) dan ada bid’ah sayyi’ah (bid’ah yang jelek)? Apakah Sayyidina Umar dan Imam Syafi’i menentang Nabi Muhammad, ataukah sebagian muslim yang justru salah memahami hakekat bid’ah? Berikut ini adalah analisa kritis terhadap generalisasi (gebyah uyah atau hantam kromo) bahwa bid’ah kesemunya adalah sesat.
ANALISA KRITIS TERHADAP GENERALISASI BID’AH SEBAGAI BID’AH SESAT.
Ketika Bid’ah difahami dengan pendekatan bahasa, namun di sisi lain menolak adanya pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah madzmumah (sayyi’ah), hanya akan berakibat kebuntuan. Dan berikut contohnya:
Dalam kitabnya Al Ibda’ Fi Kamalis Syar’i Wa Khothor al Ibtida’ Syekh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin berkata :

قَوْلُهُ (كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ) كُلِّيَّةٌ, عَامَّةٌ, شَامِلَةٌ, مُسَوَّرَةٌ بِأَقْوَى أَدَوَاتِ الشُّمُوْلِ وَالْعُمُوْمِ (كُلُّ), اَفَبَعْدَ هَذِهِ الْكُلِّيَّةِ يَصِحُّ اَنْ نَقْسَمَ الْبِدْعَةَ اِلَى اَقْسَامٍ ثَلَاثَةٍ, أَوْ اِلَى خَمْسَةٍ ؟ اَبَدًا هَذَا لَايَصِحُّ.

Hadits “Kullu Bid’atin Dholalatun” (semua bid’ah adalah sesat), bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti umum yang paling kuat yaitu kata-kata seluruh (Kullu). Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian ? selamanya pembagian ini tidak akan pernah sah. (Syeh al ‘Utsaimin dalam al Ibda’ fi Kamalis Syar’iy wa Khothoril Ibtida’, hal; 13)
Dalam uraian diatas kita dapati syekh al ‘Utsaimin menutup kemungkinan kata كل untuk memiliki makna lain, bahkan beliau mensifati Qodhiyah “Kullu Bid’atin Dholalatun” tersebut dengan sifat Kulliyah (general)Ammah (Umum), Syamilah (menyeluruh) dan memandang qodhiyah “Bid’atin Dholalah” (bid’ah adalah sesat) telah dipagari dengan Adat Syumul wal Umum (kata yang berindikasi umum dan menyeluruh) terkuat, yang berarti tanpa kecuali. Sehingga dalam akhir redaksi di atas kita dapati pernyataan; selamanya pembagian ini tidak akan pernah sah.
Selanjutnya mari kita buktikan apakah syeh al ‘Utsimin konsisten dengan pernyataannya tentang :
-          Kata  كلyang tidak dapat bermakna sebagian.
-          Bid’ah tidak akan pernah sah untuk dibagi selamanya… (benarkah ?)
 Dalam kitabnya yang lain Syeh al ‘Utsaimin berkata :

اَنَّ مِثْلَ هَذَا التَّعْبِيْرِ (كُلُّ شَيْئٍ) عَامٌّ قَدْ يُرَادُ بِهِ الْخَاصُّ, مِثْلُ قَوْلِهِ تَعَالَى عَنْ مَلَكَةِ سَبَأٍ : (وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْئٍ) وَقَدْ خَرَجَ شَيْئٌ كَثِيْرٌ لَمْ يَدْخُلْ فِي مُلْكِهَا مِنْهُ شَيْئٌ مِثْلُ مُلْكِ سُلَيْمَانَ.

Sesungguhnya redaksi seperti ini “Kullu Syaiin” (segala sesuatau) adalah kalimat general yang terkadang dimaksudkan pada makna terbatas, seperti firman Alloh tentang ratu Saba’; “Ia dikaruniai segala sesuatu”. (QS, An Naml: 23). Sedangkan banyak sekali sesuatu yang tidak masuk dalam kekuasaannya, seperti kerajaan Nabi Sulaiman. (Syeh al ‘Utsaimin, Syarah al Aqidah al Wasithiyyah,hal 336)
Di sini kita dapati Syeh al ‘Utsaimin mematahkan tesisnya sendiri tentang ke-umum-an arti kataKullu dengan mengacu pada kenyataan, bahwa tidak semua berada dalam kekuasaan ratu Saba’, karena kenyataannya banyak yang tidak masuk dalam kekuasaannya termasuk kerajaan Nabi Sulaiman. Pertanyaannya, mengapa beliau tidak melakukan hal yang sama (melihat kenyataan) pada hadits “Kullu Bid’atin Dholalatun”. Terlebih jika memperhatikan hadits-hadis yang lain….
Berikutnya, apakah beliau tetap konsisten dengan pernyataanya;  selamanya pembagian ini (bid’ah) tidak akan pernah sah ? berikut pernyataan beliau selanjutnya :

اَلْاَصْلُ فِي اُمُوْرِ الدُّنْيَا اَلْحِلُّ فَمَا اُبْتُدِعَ مِنْهَا فَهُوَ حَلَالٌ اِلَّا اَنْ يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهِ, لَكِنْ اُمُوْرِ الدِّيْنِ اَلْاَصْلُ فِيْهَا الْحَظَرُ,فَمَا اُبْتُدِعَ مِنْهَا فَهُوَ حَرَامٌبِدْعَةٌ اِلَّا بِدَلِيْلٍ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ عَلَى مَشْرُوْعِيَّتِهِ

Hukum asal dalam perkara perkara dunia adalah halal, maka inofasi (bid’ah) dalam urusan dunia adalah halal, kecuali ada dalil yang menunjukkan ke-haram-annya. Tetapi hukum asal dalam urusan agama adalah terlarang, maka apa yang diadakan (bid’ah) dalam urusan-urusan agama adalah haram dan bid’ah, kecuali ada dalil dari al Kitab dan Sunnah yang menunjukkan kemasyru’annya. (Syeh al ‘Utsaimin,Syarah al Aqidah al Wasithiyyahhal 639-640)
Dalam penjelasannya diatas Syeh al ‘Utsimin mematahkan pernyataannya yang lain setidaknya dalam dua hal :
-          Selamanya pembagian ini (bid’ah) tidak akan pernah sah”, kenyataannya beliau membagi bid’ah dengan dua macam : yakni Bid’ah Dunia dan Bid’ah Agama
-          Keumuman makna kata Kullu, karena disini kita dapati adanya bid’ah yang tidak sesat yakni bid’ah dunia.
Selanjutnya mari kita cermati pandangan beliau tentang realita pendirian pondok pesantren, menyusun ilmu, mengarang kitab dan yang lain sbb :

وَمِنَ الْقَوَاعِدِ الْمُقَرَّرَةِ اَنَّ الْوَسَائِلَ لَهَا اَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ, فَوَسَائِلُ الْمَشْرُوْعِ مَشْرُوْعَةٌ, وَوَسَائِلُ غَيْرِ الْمَشْرُوْعِ غَيْرُ مَشْرُوْعَةٍ, بَلْ وَسَائِلُ الْمُحَرَّمِ حَرَامٌ, فَالْمَدَارِسُ وَتَصْنِيْفُ الْعِلْمِ وَتَأْلِيْفُ الْكُتُبِ وَاِنْ كَانَتْ بِدْعَةً لَمْ يُوْجَدْ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ اِلَّا اَنَّهُ لَيْسَ مَقْصَدًا بَلْ هُوَ وَسِيْلَةٌ, وَالْوَسَائِلُ لَهَا اَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ, وَلِهَذَا لَوْ بَنَى شَحْصٌ مَدْرَسَةً لِتَعْلِيْمِ عِلْمٍ مُحَرَّمٍ كَانَ الْبِنَاءُ حَرَامًا,وَلَوْ بَنَى مَدْرَسَةً لِتَعْلِيْمِ عِلْمٍ شَرْعِيٍّ كَانَ الْبِنَاءُ مَشْرُوْعًا

“ Dan diantara kaedah yang ditetapkan adalah bahwa “Perantara (wasilah) itu memiliki hukum-hukum maqoshid (tujuan) nya. Jadi perantara untuk tujuan yang disyari’atkan adalah disyari’atkan (pula), dan perantara untuk tujuan yang tidak disyari’atkan (perantara tsb) juga tidak disyari’atkan, bahkan perantara tujuan yang diharamkan adalah haram (hukumnya)Adapun pembangunan madrasah-madrasah, menyusun ilmu, mengarang kitab, meskipun itu semua Bid’ah dan tidak ditemukan/tidak didapati pada masa Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam dalam bentuk seperti ini, namun ia bukan tujuan melainkan hanya perantara, sedang hukum perantara (wasilah) mengikuti hukum tujuannya. Oleh karena itu bila seseorang membangun madrasah untuk mengajarkan ilmu yang diharamkan maka membangunnya dihukumi haram, dan bila membangun madrasah untuk mengajarkan ilmu syari’at, maka pembangunannya disyari’atkan.” (Syeh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin, al Ibda’ fi Kamalis Syar’iy wa Khothoril Ibtida’ , hal; 18-19)
Coba kita perhatikan tulisan merah yang bergaris bawah diatas, sekali lagi secara implisit beliau mematahkan tesisnya tentang ke-umum-an arti kata Kullu, bahkan secara implisit pula beliau telah membagi bid’ah dalam kategori “Wasilah” (perantara) dan “Maqoshid” (tujuan). Sehingga jika kita cerna dengan logika bahasa, maka mafhum dari apa yang beliau katakan adalah :
-          Jika Bid’ah itu berupa “Wasilah” (perantara) maka hukumnya mengikuti “Maqoshid” (tujuan) tanpa memandang apakah itu urusan dunia atau urusan agama.
-          Adanya “Wasilah Bid’ah” dan “Wasilah bukan Bid’ah
-          Hukum “Wasilah Bid’ah” mengikuti hukum “Maqoshid” yang berarti terbagi menjadi lima, yakni wajib, mandzubah, mubah, makruh dan haram.
Jika mereka tidak mau mengkategorikan “Wasilah” termasuk bid’ah, lantas apakah bisa dikategorikan sunnah dalam pengertian mereka? Kenyataanya mereka tidak mau menganggap sunnah terhadap apa-apa yang tidak ada pada masa Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam dan para Sahabat…( perlu diketahui bahwa dalam kamus salafi/wahabi tidak ada bid’ah hasanah, yang ada hanya Bid’ah VS Sunnah )
Selanjutnya jika mereka (salafi/wahabi) memang konsisten dengan pendapat Syeh al ‘Utsimain diatas tentang hukum “Wasilah”, lantas mengapa mereka menganggap membaca kitab-kitab Maulid (Siroh Nabawi, pujian melalui qoshidah dan Sholawat) adalah Bid’ah Sesat? Apakah memang mereka tidak tahu adanya perintah baca sholawat? Apakah memang mereka tidak tahu ada para sahabat yang bercerita tentang Nabi shollallahu‘alaihi wa sallam? apakah mereka memang tidak tahu ada sahabat yang memuji Nabi shollallahu‘alaihi wa sallam dengan senandung Nasyid mereka…? Atau karena memang mereka (salafi) tidak/belum tahu? Atau tidak mau tahu…? Atau mereka menganggap kitab-kitabMaulid adalah Maqoshid (tujuan)? Padahal jelas itu bukan maqpshid tetapi washilah, dan maqoshidnya adalah ekspresi cinta kepada Nabi Muhammad Saw.

Sistem ekonomi Islam


Rencana ini ialah subrencana fiqh dan Undang-undang dan ekonomi.
Dengan melakukan istiqra` terhadap hukum-hukum syara' yang menyangkut masalah ekonomi, akan dapat disimpulkan bahawa Sistem Ekonomi (an-nizham al-iqtishadi) dalam Islam mencakup pembahasan yang menjelaskan asas-asas yang membangun sistem ekonomi Islam terdiri dari atas tiga asas :
  • bagaimana cara memperoleh kepemilikan harta kekayaan (al-milkiyah)?
  • bagaimana pengelolaan kepemilikan harta kekayaan yang telah dimiliki (tasharruf fil milkiyah)?
  • bagaimana cara edaran kekayaan tersebut di tengah-tengah masyarakat (tauzi'ul tsarwah bayna an-naas)? 
    Pertama : Cara Pemilikan Harta Dalam Islam (Al-Milkiyah)
Sistem Ekonomi Islam berbeza sama sekali dengan sistem ekonomi kufur buatan manusia. Sistem ekonomi Islam adalah sempurna kerana berasal dari wahyu, dan dari segi pemilikan, ia menerangkan kepada kita bahawa terdapat tiga jenis pemilikan:-
  • Hak Milik Umum: meliputi mineral-mineral dalam bentuk pepejal, cecair dan gas termasuk petroleum, besi, tembaga, emas dan sebagainya yang didapati sama ada di dalam perut bumi atau di atasnya, termasuk juga segala bentuk tenaga dan intensif tenaga serta industri-industri berat. Semua ini merupakan hak milik umum dan wajib diuruskan (dikelola) oleh Daulah Islamiyah(negara) manakala manfaatnya wajib dikembalikan kepada rakyat
  • Hak Milik Negara meliputi segala bentuk bayaran yang dipungut oleh negara secara syar’ie dari warganegara, bersama dengan perolehan dari pertanian, perdagangandan aktiviti industri, di luar dari lingkungan pemilikan umum di atas. Negara membelanjakan perolehan tersebut untuk kemaslahatan negara dan rakyat
  • Hak Milik Individu: selain dari kedua jenis pemilikan di atas, harta-harta lain boleh dimiliki oleh individu secara syar’ie dan setiap individu itu perlu membelanjakannya secara syar’ie juga. 
    Kedua : Cara Pengelolaan Kepemilikan (At-Tasharruf Fi Al Milkiyah)
Secara dasarnya, pengelolaan kepemilikan harta kekayaan yang telah dimiliki mencakup dua kegiatan, iaitu:-.
1) Pembelanjaan Harta (Infaqul Mal)
Pembelanjaan harta (infaqul mal) adalah pemberian harta kekayaan yang telah dimiliki. Dalam pembelanjaan harta milik individu yang ada, Islam memberikan tuntunan bahawa harta tersebut haruslah dimanfaatkan untuk nafkah wajib seperti nafkah keluarga, infak fi sabilillah, membayar zakat, dan lain-lain. Kemudian nafkah sunnah seperti sedekah, hadiah dan lain-lain. Baru kemudian dimanfaatkan untuk hal-hal yang mubah (harus). Dan hendaknya harta tersebut tidak dimanfaatkan untuk sesuatu yang terlarang seperti untuk membeli barang-barang yang haram seperti minuman keras, babi, dan lain-lain.
2) Pengembangan Harta (Tanmiyatul Mal)
Pengembangan harta (tanmiyatul mal) adalah kegiatan memperbanyak jumlah harta yang telah dimiliki. Seorang muslim yang ingin mengembangkan harta yang telah dimiliki, wajib terikat dengan ketentuan Islam berkaitan dengan pengembangan harta. Secara umum Islam telah memberikan tuntunan pengembangan harta melalui cara-cara yang sah seperti jual-beli, kerja sama syirkah yang Islami dalam bidang pertanian, perindustrian, maupun perdagangan. Selain Islam juga melarang pengembangan harta yang terlarang seperti dengan jalan aktiviti riba, judi, serta aktiviti terlarang lainnya.
Pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum itu adalah hak negara (Daulah Islamiyah), kerana negara (Daulah Islamiyah) adalah wakil ummat. Meskipun menyerahkan kepada negara (Daulah Islamiyah) untuk mengelolanya, namun Allah SWT telah melarang negara (Daulah Islamiyah) untuk mengelola kepemilikan umum tersebut dengan jalan menyerahkan penguasaannya kepada orang tertentu. Sementara mengelola dengan selain dengan cara tersebut diperbolehkan, asal tetap berpijak kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara'.
Adapun pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan negara (Daulah Islamiyah) dan kepemilikan individu, nampak jelas dalam hukum-hukum baitul mal serta hukum-hukum muamalah, seperti jual-beli, gadai (rahn), dan sebagainya. As Syari' juga telah memperbolehkan negara (Daulah Islamiyah) dan individu untuk mengelola masing-masing kepemilikannya, dengan cara tukar menukar (mubadalah) atau diberikan untuk orang tertentu ataupun dengan cara lain, asal tetap berpijak kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara’.  
Ketiga : Cara Edaran Kekayaan Di Tengah Masyarakat (Tauzi'ul Tsarwah Tayna An-Naas)
Kerana edaran harta kekayaan termasuk masalah yang sangat penting, maka Islam memberikan juga berbagai ketentuan yang berkaitan dengan hal ini. Mekanisme edaran harta kekayaan terwujud dalam hukum syara’ yang ditetapkan untuk menjamin pemenuhan barang dan perkhidmatan bagi setiap individu rakyat. Mekanisme ini dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan (contohnya, bekerja) serta akad-akad muamalah yang wajar (contohnya jual-beli dan ijarah).
Namun demikian, perbezaan potensi individu dalam masalah kemampuan dan pemenuhan terhadap suatu keperluan, boleh menyebabkan perbezaan edaran harta kekayaan tersebut di antara mereka. Selain itu perbezaan antara masing-masing individu mungkin saja menyebabkan terjadinya kesalahan dalam edaran harta kekayaan. Kemudian kesalahan tersebut akan membawa hanya harta kekayaan teredar kepada segelintir orang saja, sementara yang lain kekurangan, sebagaimana yang terjadi akibat penimbunan harta, seperti emas dan perak.
Oleh kerana itu, syara' melarang berputarnya kekayaan hanya di antara orang-orang kaya namun mewajibkan perputaran tersebut terjadi di antara semua orang. Allah SWT berfirman :
"Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (QS. Al-Hasyr : 7)
Di samping itu syara' juga telah mengharamkan penimbunan emas dan perak (harta kekayaan) meskipun zakatnya tetap dikeluarkan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
"Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahawa mereka akan mendapat) siksa yang pedih." (QS. At-Taubah : 34)  
Mekanisme Sistem Ekonomi Islam
Secara umum mekanisme yang ditempuh oleh sistem ekonomi Islam dikelompokkan menjadi dua, iaitu:-
1.Mekanisme Ekonomi
Mekanisme ekonomi adalah mekanisme melalui aktiviti ekonomi yang bersifat produktif, berupa berbagai kegiatan pengembangan harta (tanmiyatul mal) dalam akad-akad muamalah dan sebab-sebab kepemilikan (asbab at-tamalluk). Berbagai cara dalam mekanisme ekonomi ini, antara lain :
  • Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab kepemilikan dalam kepemilikan individu (misalnya, bekerja di sektor pertanian, industri, dan perdagangan)
  • Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan harta (tanmiyah mal) melalui kegiatan investasi (misalnya, dengan syirkah inan, mudharabah, dan sebagainya).
  • Larangan menimbun harta benda (wang, emas, dan perak) walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi pada ekonomi. Pada gilirannya akan menghambat peredaran kerana tidak terjadi perputaran harta.
  • Mengatasi peredaran dan pemusatan kekayaan di satu daerah tertentu saja misalnya dengan memeratakan peredaran modal dan mendorong tersebarnya pusat-pusat pertumbuhan.
  • Larangan kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat menjamin pasaran.
  • Larangan judi, riba, rasuah, pemberian barang dan hadiah kepada penguasa. Semua ini akan mengumpulkan kekayaan pada pihak yang kuat semata (seperti penguasa atau koperat).
  • Memberikan kepada rakyat hak pemanfaatan barang-barang milik umum (al- milkiyah al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang galian, minyak, elektrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.
2.Mekanisme Non-Ekonomi
Mekanisme non-ekonomi adalah mekanisme yang tidak melalui aktiviti ekonomi yang produktif, melainkan melalui aktiviti non-produktif, misalnya pemberian (hibah, sedekah, zakat, dll) atau warisan. Mekanisme non-ekonomi dimaksudkan untuk melengkapi mekanisme ekonomi. Iaitu untuk mengatasi peredaran kekayaan yang tidak berjalan sempurna jika hanya mengandalkan mekanisme ekonomi semata.
Mekanisme non-ekonomi diperlukan baik kerana adanya sebab-sebab alamiah maupun non-alamiah. Sebab alamiah misalnya keadaan alam yang tandus, badan yang cacat, akal yang lemah atau terjadinya musibah bencana alam. Semua ini akan dapat menimbulkan terjadinya gangguan ekonomi dan terhambatnya edaran kekayaan kepada orang-orang yang memiliki keadaan tersebut. Dengan mekanisme ekonomi biasa, edaran kekayaan boleh tidak berjalan kerana orang-orang yang memiliki hambatan yang bersifat alamiah tadi tidak dapat mengikuti kegiatan ekonomi secara normal sebagaimana orang lain. Bila dibiarkan saja, orang-orang itu, termasuk mereka yang tertimpa musibah (kecelakaan, bencana alam dan sebagainya) makin terpinggirkan secara ekonomi. Mereka akan menjadi masyarakat yang miskin terhadap perubahan ekonomi. Bila terus berlanjutan, boleh menyebabkan munculnya masalah sosial seperti jenayah (curi, rompak), rogol (pelacuran) dan sebagainya, bahkan mungkin revolusi sosial.
Mekanisme non-ekonomi juga diperlukan kerana adanya sebab-sebab non-alamiah, iaitu adanya penyimpangan mekanisme ekonomi. Penyimpangan mekanisme ekonomi ini jika dibiarkan akan boleh menimbulkan ketimpangan edaran kekayaan. Bila penyimpangan terjadi, negara wajib menghilangkannya. Misalnya jika terjadi monopoli, hambatan masuk, baik administratif maupun non-adminitratif-- dan sebagainya, atau kejahatan dalam mekanisme ekonomi (misalnya penimbunan), harus segera dihilangkan oleh negara.
Mekanisme non-ekonomi bertujuan agar di tengah masyarakat segera terwujud keseimbangan (al-tawazun) ekonomi, yang akan ditempuh dengan beberapa cara. Penedaran harta dengan mekanisme non-ekonomi antara lain adalah :
  • Pemberian harta negara kepada warga negara yang dinilai memerlukan.
  • Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik.
  • Pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu kepada yang memerlukan.
  • Pembagian harta waris kepada ahli waris dan lain-lain.
Demikianlah gambaran sekilas tentang asas-asas sistem ekonomi Islam. Untuk memberikan pemahaman yang lebih luas dan dalam, maka perincian seluruh aspek yang dikemukakan di atas perlu dilakukan.  
Perekonomian Islam
Perekonomian Islam ialah ekonomi menurut undang-undang Islam. Adanya dua paradigma untuk memahami Perekonomian Islam, dengan satunya menganggap rangka politik Islam (iaitu Khilafah), dan yang lain itu menganggap rangka politik bukan Islam yang melahirkan suatu paradigma yang bertujuan untuk menyepadukan sesetengah rukun Islam yang terkenal ke dalam sebuah rangka ekonomi sekular.
Paradigma pertama bertujuan untuk mentakrifkan semula masalah ekonomi sebagai suatu masalah pengagihan sumber untuk mencapai:
  • keperluan-keperluan asas dan mewah para orang perseorangan di dalam masyarakat;
  • membina pasaran etika yang mempunyai persaingan kerjasama;
  • memberikan ganjaran kepada penyerta-penyerta kerana terdedah kepada risiko dan/atau liabiliti;
  • membahagikan harta-harta secara adil antara kegunaan awam dan kegunaan peribadi; dan
  • negara memainkan peranan yang jelas terhadap pengawasan, percukaian, pengurusan harta awam dan memastikan peredaran kekayaan.
Gerakan-gerakan Islam yang menyeru agar politik dibaharui umumnya akan mencadangkan paradigma ini untuk menjelaskan bagaimana mereka akan memperkenalkan pembaharuan ekonomi. Bagaimanapun, paradigma kedua hanya mencadangkan dua hukum utama, iaitu:
Perbezaan utama dari segi kewangan ialah peraturan tiada faedah kerana paradigma pelaburan Islam yang menepati tanggungjawab sosial tidak amat berbeza dengan apa yang diamalkan oleh agama-agama yang lain. Dalam percubaannya untuk melarang faedah, ahli-ahli ekonomi Islam berharap untuk menghasilkan sebuah masyarakat yang lebih bersifat Islam. Bagaimanapun, gerakan-gerakan liberal dalam agama Islam mungkin akan menafikan keperluan untuk perkara ini kerana mereka umumnya melihat Islam sebagai secocok dengan institusi-institusi dan undang-undang sekular moden

RAPUHNYA PENGAKUAN PENGIKUT SYEKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB SEBAGAI PENGIKUT ULAMA' SALAF.

يقول النجدي ابن عبد الوهاب في رسالة الى قاضي الدرعية عبد الله بن عيسى "وأنا ذلك الوقت لا أعرف معنى "لا 

إله الا الله" ولا أعرف دين الاسلام،
قبل هذا الخير الذي مَنَّ الله به، وكذلك مشايخي ما منهم رجل عرف ذلك. فمن زعم من علماء العارض أنه عرف معنى "لا اله الا الله"
أو عرف معنى الاسلام قبل هذا الوقت، أو زعم عن مشايخه أن أحداً عرف ذلك، فقد كذب وافترى ولبّس على الناس ومدح نفسه بما ليس فيه".
تاريخ نجد لابن غنام ، ص 310 .

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata kepada qadli daerah al-Dir’iyyah, yakni Abdullah bin ‘Isa:
“Aku pada waktu itu tidak mengerti makna LA ILAHA ILLALLAH dan tidak mengerti agama islam, sebelum kebaikan yang dianugerahkan oleh Allah. Demikian pula guru-guruku, tidak seorang pun diantara mereka yang mengetahui hal tersebut. Barang siapa yang berasumsi diantara ulama’ Aridh (Riyadh) bahwa ia mengetahui makna LA ILAHA ILLALLAH atau mengetahui makna islam sebelum waktu ini, atau berasumsi bahwa diantara guru-gurunya ada yang mengetahgui hal terseut, berarti ia telah berdusta, mereka-reka (kebohongan), menipu manusia dan memuji dirinya dengan sesuatu yang tidak dimilikinya.” (Tarikh Najd hal 310m karya Ibn Ghunnam) dan (al-Durar al-Saniyyah Fi al-Ajwibat al-Najdiyyah jilid 10 hal 5)

Dalam kitab Kasyf al-Syubuhat hal 29-30, Syekh Muhammad bin Addul Wahhab berkata:
 “Ketahuilah bahwa kesyirikan orang-orang dulu lebih ringan dari padakesyirikan orang-orang masa kita sekarang ini.”
Maksudnya, kaum muslimin diluar golongannya itu telah syirik semua. Kesyirikan mereka melebihi kesyirikan orang-orang jahiliyyah.

Dalam kitab al-Durar al-Saniyyah fi al-Ajwibah al-Najdiyyah juz 3 hal 56 yang di takhqiq oleh Syekh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim, ulama’ salafi kontemporer, ada pernyataan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, “Bahwa ilmu fiqh dan kitab-kitab fiqh madzhab empat yg diajarkan oleh para ulama’ adalah ilmu syirik, sedangkan para ulama’ yang menyusunnya adalah syetan-syeta manusia dan jin”.
Pernyataan ini jelas merupakan pembatalan dan pengkafiran terhadap kaum muslimin yg mengikuti madzhab fiqh empat yang notabenenya adalah mayoritas kaum muslimin.

Pengkafiran terhadap kaum muslimin terus dilakukan oleh ulama’ wahhabi/salafi dewasa ini. Dalam kitab Kaifa Nafhamu al-Tauhid, karya Muhammad bin Ahmad Basyamil, disebutkan:
“Aneh dan ganjil, ternyata Abu Jahal dan Abu Lahab lebih banyak tauhidnya kepada Allah dan lebih murni imannya kepadaNya dari pada kaum muslimin yg bertawassul dengan para wali dan orang-orang saleh dan memohon pertolongan dengan perantara mereka kepada Allah. Ternyata Abu Jahal dan Abu Lahab lebih banyak tauhidnya dan lebih tulus imannya dari mereka kaum muslimin yang mengucapkan tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah."

Bagaimana tanggapan para ulama’ mengenai faham yang diajarkan oleh syekh Muhammad bin abdul wahhab???

Syekh Sulaiman bin Abdul Wahhab, kakak kandung syekh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata dalam kitab al-Shawa’iq al-Ilahiyyah fi al-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah hal 5:
“Hari ini menusia mendapat ujian dengan tampilnya seseorang yang menisbatkan dirinya kepada alqur’an dan al-sunnah dan menggali hukum dari ilmu-ilmu alqur’an dan sunnah. Ia tidak peduli dengan orang-orang yang berbeda dengannya. Apabila ia diminta membandingkan pendapatnya terhadap para ulama’, ia tidak mau. Bahkan ia mewajibkan manusia mengikuti pendapat dan konsepnya. Orang yg menyelisihinya dianggap kafir. Padahal tak satupun syarat-syarat dari ijtihad ia penuhi, bahkan DEMI ALLAH, 1% pun ia tidak memilikinya. Meski demikian, pandangannya laku dikalangan orang-orang awam. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”.

Begitu pula dalam kitab al-Shuhub al-Wabilah ‘Ala Dharaih al-Hanabilah (kitab yg memuat biografi para ulama’ madzhab hanbali) karya al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid al-Najdi ditutrkan:

Abdul Wahhab bin Sulaiman al-Tamimi al-Najdi, adalah ayah pembawa dakwah wahhabiyah, yang percikan apinya telah tersebar di berbagai penjuru. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Padahal Muhammad (pendiri wahhabi) tidak terang-terangan berdakwah kecuali setelah meninggalnya sang ayah. Sebagian ulama’ yang aku jumpai menginformasikan kepadaku, dari orang yang semasa dengan Syekh Abdul Wahhab ini, bahwa beliau sangat murka kepada anaknya, karena ia tidak suka belajar ilmu fiqh seperti para pendahulu dan orang-orang di daerahnya. Sang ayah selalu berfirasat tidak baik tentang anaknya pada masa yang akan datang. Beliau selalu berkata kepadsa masyarakat, “Hati-hati, kalian akan menemuka keburukan dari Muhammad.” Sampai ahirnya takdir Allah benar-benar terjadi. Demikian pula putra beliau, Syekh Sulaiman (kakak kandung syekh Muhammad bin Abdul Wahhab), juga menentang terhadap dakwahnya dan membantahnya dengan bantahan yang baik berdasarkan ayat-ayat alqur’an dan hadits Nabi. Syekh Sulaiman manamakan bantahannya dengan judul Fashl al-Khithab Fi al-Rdd ‘ala Muhammad bin Abdul Wahhab,

sangat mengherankan, bagaimana mungkin seorang kakak tega menentang dan membantah adiknya sendir jka memang benar sang adik adalah pengikut salafussholih yang taat????!!!!!
apakah karena iri?? Subhanallah, itu adalah tuduhan yang amat keji untuk para ulama. Bahkan bukan seorang ulama’ pun justru merasa bangga jika adiknya bisa menjadi orang hebat, terlebih dalam bidang agama.

Dalam kitab tersebut al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid al-Najdi menuliskan biografi tidak kurang dari 800 ulama’ madzhab hanbali, tapi anehnya nama syekh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak tercantum, justru yang tercantum adalah ayahnya. Jika benar klaim dari para pengikut salafi/wahhabiy bahwa syekh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang mujaddid, seorang pembahru, sudah pasti sangat janggal, aneh dan sulit dipercaya, bagaimana munkin ulama’ dengan level langka (mujaddid) bisa tidak dicantumkan dalam kitab tersebut padahal ulama’-ulama’ dengan level di bawahnya banyak sekali dicantumkan.
       Sebagai info: mujaddid adalah ulama’ yang selevel denganmjtahid tarjih, ulama’ yang berada 3 level dibawah mujtahid mutlak seperti imam syafi’i atau pun ahamad bn hanbal. Sedang kita, mayoritas umat muslim adalah orang2 yg berada 3-4 level dibawah mujaddid. Jika kita melihat empat madzhab secara keseluruhan, dalam masing2 madzhab, ulama’ yang mencapai level mujaddid tidak menyentuh angka dua digit. Artinya, mujaddid dalam setiap madzhab 4 tidak sampai sepuluh orang. Jumlah yang sangat sedikit jika kita melihat bahwa dalam kitab tersebut menuturkan 800 ulama’. So, sudah jelas sekali bahwa klaim bahwa syekh muhammad bin abdul wahhab adalah seorang mujaddid hanyalah klaim sepihak dari para pengikutnya, terbukti para ulama’ yang tidak menjadi pengikutnya tak ada satu pun yang mengakui keilmuannya.

Saturday, 23 November 2013

Tahu, Faham & Amal: Sheikh Nuruddin Al Banjari Menjawab Isu Hadith Mus...

Tahu, Faham & Amal: Sheikh Nuruddin Al Banjari Menjawab Isu Hadith Mus...: Baru-baru ini Dr Asri muncul di OASIS ASTRO melalui program Bahtera Perubahan. Dan beliau menimbulkan lagi isu Hadith Musalsal yang sebenarn...

Syahadat sejak Nabi pertama

Allah ta'ala berfirman:
وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۖ وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا

Firman Allah ta'ala yang artinya,

"Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh." (QS Al Ahzab 33:7)

Firman Allah ta'ala:
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا آتَيْتُكُم مِّن كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُّصَدِّقٌ لِّمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنصُرُنَّهُ ۚ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَىٰ ذَ‌ٰلِكُمْ إِصْرِي ۖ قَالُوا أَقْرَرْنَا ۚ قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُم مِّنَ الشَّاهِدِينَ

"Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: 'Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya'. Allah berfirman: 'Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?' Mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: 'Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu'. (QS Ali Imran 3:81)

Dalam memahami firman Allah ta'ala di atas kita dapat mengikuti dari apa yang disampaikan oleh Imam Sayyidina Ali ra, "Setiap kali Allah subhanahu wa ta'ala. mengutus seorang nabi, mulai dari Nabi Adam a.s sampai seterusnya, maka kepada nabi-nabi itu Allah subhanahu wa ta'ala menuntut janji setia mereka bahwa jika nanti Rasulallah shallallahu alaihi wasallam. diutus, mereka akan beriman padanya, membelanya dan mengambil janji setia dari kaumnya untuk melakukan hal yang sama’.

Dari dalil-dalil tersebut kita dapat pahami bahwa dari sejak Nabi Adam a.s , para Nabi telah disampaikan akan kedatangan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai Rasul yang terakhir yang akan membenarkan apa yang dibawa oleh para Nabi sebelumnya

Jadi pada hakikat para Nabi sebelum Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam juga bersyahadat

Hal ini disampaikan sebagai peringatan bagi kaum Yahudi dan kaum Nasrani yang menyembunyikan adanya syahadat para Nabi dalam kitab-kitab Injil dan Taurat

أَمْ تَقُولُونَ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطَ كَانُوا هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ قُلْ أَأَنتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ ۗ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَتَمَ شَهَادَةً عِندَهُ مِنَ اللَّهِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

Firman Allah ta'ala yang artinya, “Ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?” Katakanlah: “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya?” Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan."  (QS Al Baqarah [2]:140 )

Kaum Yahudi dan Kaum Nasrani telah mengetahui akan kedatangan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ ۖ وَإِنَّ فَرِيقًا مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Firman Allah ta'ala yang artinya
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” ( QS Al Baqarah [2]:146 )

وَوَصَّىٰ بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam“. (QS Al Baqarah [2]: 132 )

قُلْ أَتُحَاجُّونَنَا فِي اللَّهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُخْلِصُونَ
Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk”. Katakanlah : “Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik” (QS Al Baqarah [2]: 139 )

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Sesungguhnya agama disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka” (QS Ali Imran [3]: 19)

Barangsiapa yang berpaling sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam diutus dengan kitab Al-Qur’an yang membenarkan kitab-kitab Allah sebelumnya maka mereka termasuk orang-orang yang fasik, orang yang berpaling atau tidak mengindahkan perintah Allah ta’ala. Akhir bagi mereka adalah neraka jahanamlah sebagaimana firmanNya

وَأَمَّا الَّذِينَ فَسَقُوا فَمَأْوَاهُمُ النَّارُ ۖ كُلَّمَا أَرَادُوا أَن يَخْرُجُوا مِنْهَا أُعِيدُوا فِيهَا وَقِيلَ لَهُمْ ذُوقُوا عَذَابَ النَّارِ الَّذِي كُنتُم بِهِ تُكَذِّبُونَ
yang artinya:
Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah jahannam. Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: “Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya.” ( QS As Sajadah [32]:20 )

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَسْتُمْ عَلَىٰ شَيْءٍ حَتَّىٰ تُقِيمُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنجِيلَ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ ۗ وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرًا مِّنْهُم مَّا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ طُغْيَانًا وَكُفْرًا ۖ فَلَا تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
"Katakanlah:”Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu“. (QS Al Maa’idah [5]:68 )

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka..” (QS.Ali Imran [3] : 110)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “ Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.

Diriwayatkan dari Sufyan bin Uyainah dengan sanadnya dari Adi bin Hatim. Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Abu Dzar, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang yang dimurkai“, beliau bersabda, ‘Kaum Yahudi.’ Saya bertanya tentang orang-orang yang sesat, beliau bersabda, “Kaum Nasrani.“

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Tidak ada paksaan untuk beragama (Islam) ” (QS Al Baqarah [2]:256)

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Tidak ada paksaan namun pada ayat yang sama dijelaskan bahwa “Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat” (QS Al Baqarah [2]:256)

Pilihan bagi manusia hanyalah dua pilihan antara yang haq dan bathil . Pilihannya hanyalah beragama Islam atau tidak beragama Islam karena tidak ada agama selain agama Islam. Setelah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam di utus oleh Allah Azza wa Jalla maka pilihannya hanyalah bersyahadat atau tidak bersyahadat. Petunjuk / ilham akan pilihan ini telah dihujamkan ke jiwa (qalbu) setiap manusia  tanpa kecuali

Firman Allah ta'ala

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
yang artinya,
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS Asy Syams [91]:8)

وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (QS Al Balad [90]:10)

Setiap manusia akan mempertanggungjawabkan pilihan mereka di akhirat kelak.

Firman Allah ta'ala وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَـٰكِن يُضِلُّ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
 yang artinya,  “Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan” (QS An Nahl [16:93 )

Walaupun Allah ta'ala menetapkan seorang manusia terlahir pada keluarga Yahudi ,  keluarga Nasrani maupun keluarga non muslim lainnya namun mereka tetap diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak atas pilihan mereka karena seluruh  manusia jiwa/qalbu nya  telah diilhamkan pilihan  (jalan) kefasikan dan ketaqwaan, pilihan yang haq dan bathil.

Firman Allah ta'ala

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
 yang artinya, “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai” (QS Anbiyaa’ [21]:23 )

Mereka yang memilih  yang bathil sehingga mereka tidak bersyahadat maka mereka akan termasuk orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap yang telah bersyahadat

Firman Allah ta’ala:

لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِّلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا ۖ وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُم مَّوَدَّةً لِّلَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَىٰ ۚ ذَ‌ٰلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ

 yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik” ( QS Al Maaidah [5]: 82 )

Sedangkan mereka yang memilih yang haq sehingga mereka bersyahadat maka mereka bersaudara

Firman Allah ta'ala :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
yang artinya, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat” ( Qs. Al-Hujjarat :10)

Rasulullah bersabda kepada Mu'adz bin Jabal ra ,  “Ya Mu`adz bin Jabal ma min ahadin Yashaduan la illaha illallahu washadu anna muhammadan rasullullahi sidqan min qalbihi illa ahrramahu allahu alla annari “,

Ya Mu'adz bin Jabal, tak ada satu orang pun yang bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan Muhammad rasul Allah yang ucapan itu betul-betul keluar dari kalbunya yang suci kecuali Allah mengharamkan orang tersebut masuk neraka. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Jika seseorang bersyahadat sidqan min qalbihi, betul-betul keluar dari qalbunya atau merasuk kedalam qalbunya  maka dia akan tidak masuk  ke neraka karena "hati" nya akan menggerakkannya untuk mentaati Allah ta'ala dan RasulNya, melaksanakan perkara syariat (syarat sebagai hamba Allah) yakni menjalankan segala kewajibanNya (ditinggalkan berdosa), menjauhi segala laranganNya (dikerjakan berdosa) dan menjauhi segala apa yang diharamkanNya (dikerjakan berdosa) serta mereka memperjalankan dirinya agar sampai (wushul) kepada Allah ta'ala, sehingga sebenar-benarnya menyaksikan (melihat) Allah dengan hati dan mereka mencapai muslim yang Ihsan , muslim berma'rifat

Apakah Ihsan ?
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11)

Rasulullah bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)

Ada dua kondisi yang dicapai oleh muslim yang ihsan atau muslim yang telah berma’rifat
Kondisi minimal adalah mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla
Kondiri terbaik adalah mereka yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati (ain bashiroh)

Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”

Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”

Muslim berma'rifat adalah mereka yang minimal selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla dan yang terbaik adalah mereka yang dapat melihat Allah ta'ala dengan hati,  mereka akan menghindarkan dirinya dari sikap dan perbuatan yang dibenciNya, menghindarkan dirinya dari perbuatan maksiat, menghindarkan dirinya dari perbuatan keji dan mungkar.

Muslim berma'rifat, mereka yang memperjalankan dirinya agar sampai (wushul) kepada Allah ta'ala dicontohkan dan diungkapkan oleh Rasulullah sebagai “aku mendengar derap sandalmu di dalam surga”   (HR Muslim 4497) sebagaimana telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/29/derap-sandalmu/ dan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/05/perjalankanlah-diri-kita/

Imam Al Qusyairi mengatakan bahwa, “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.

Syaikh Ibnu Athoillah mengatakan
وَإِنَّماَ المَحْجُوْبُ أَنْتَ أَيُّهاَ العَبْدُ بِصِفاَتِكَ النَّفْساَنِيَّةِ عَنِ النَّظْرِ إِلَيْهِ فَإِنْ رُمْتَ الوُصُوْلَ فاَبْحَثْ عَنْ عُيُوْبِ نَفْسِكَ وَعاَلَجَهاَ
"Sesungguhnya yang terhalang adalah anda, hai kawan. Karena anda sebagai manusia menyandang sifat jasad, sehingga terhalang untuk dapat melihat Allah. Apabila anda ingin sampai melihat Allah, maka intropeksi ke dalam, lihatlah dahulu noda dan dosa yang terdapat pada diri anda, serta bangkitlah untuk mengobati dan memperbaikinya, karena itu-lah sebagai penghalang anda. Mengobatinya dengan bertaubat dari dosa serta memperbaikinya dengan tidak berbuat dosa dan giat melakukan kebaikan".

Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan,  
mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya.
Semua banungan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla.
Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya.
Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya.

Jika bersyahadat sidqan min qalbihi maka mereka akan mengikuti sunnah Rasulullah untuk tidak mencela, menghujat, memperolok-olok,  merendahkan atau bahkan membunuh manusia yang telah bersyahadat tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat Islam sebagaimana contohnya yang telah dilakukan oleh sebuah "sekte berdarah" yang diuraikan dalam tulisan pada  http://www.aswaja-nu.com/2010/01/dialog-syaikh-al-syanqithi-vs-wahhabi_20.html atau pada  http://www.facebook.com/photo.php?fbid=220630637981571&set=a.220630511314917.56251.100001039095629

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).

Kita dapat memahami jika seseorang mengaku-aku mengikuti Rasulullah (ittiba' li Rasulihi) namun mereka mencela, menghujat, memperolok-olok,  merendahkan atau bahkan membunuh saudara muslimnya sendiri maka mereka akan masuk neraka karena mereka terjerumus dalam kekufuran menjadi kaum munafik, berbeda antara yang dikatakannya dengan kenyataannya.

Jadi kalau diantara sesama muslim bermusuhan maka perlu intropeksi kembali syahadat yang telah diucapkan atau mereka boleh jadi telah kembali menjadi orang-orang kafir (orang-orang musyrik) sehingga  termasuk orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap yang telah bersyahadat sebagaimana firman Allah ta'ala dalam QS Al Maaidah [5]: 82 di atas.

Boleh jadi timbul rasa permusuhan karena mereka telah kembali menjadi orang-orang kafir sbagaimana yang telah disampaikan oleh Imam Sayyidina Ali ra

Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).

Oleh karenanya agar tidak terjerumus ke dalam kekufuran , dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah, sebaiknyalah kita memperhatikan batas-batas yang disampaikan oleh para ulama terdahulu seperti,

Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir secara pasti.”

Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Tulisan  kali ini kami akhiri dengan nasehat dan munajat dari Syaikh Ibnu Athoillah

"Seandainya Anda tidak dapat sampai / berjumpa kehadhirat Allah, sebelum Anda menghapuskan dosa-dosa kejahatan dan noda-noda keangkuhan yang melekat pada diri anda, tentulah anda tidak mungkin sampai kepada-Nya selamanya.
Tetapi apabila Allah menghendaki agar anda dapat berjumpa denganNya , maka Allah akan menutupi sifat-sifatmu dengan sifat-sifat Kemahasucian-Nya , kekuranganmu dengan Kemahasempurnaan-Nya.
Allah Ta’ala menerima engkau dengan apa yang Dia (Allah) karuniakan kepadamu, bukan karena amal perbuatanmu sendiri yang engkau hadapkan kepada-Nya.”

Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan