9 Scanned Books : Live after Death : Mereka Yang Hidup setelah Mati (Para nabi dan wali : Menjawab Salam – shalat – berdoa – jasad utuh etc di dalam kuburnya)
Posted on October 5, 2012 by admin
Daftar scan kitab:
1. Tafsir-ul-Qur’an al-Azim, Ibn Kathir : Sahabat yang meninggal menjawab dari dalam kuburnya
2. Sunan al-Kubra , Imam al-Bayhaqi : Jasad Shahabat Masih utuh setelah setahun dikubur
3. Tafsir Mafatih al-Ghayb, by Imam Fakhr ud-Deen ar-Razi
4. Mirqat al-Mafatih Sharah Mishqat, Mullah Ali Qari
5. al-Albani, in Silsilat al-ahadith al-sahihah : Para Nabi Shalat didalam kuburnya.
6. Hayat ul-Anbiyah Imam al-Bayhaqi: Para Nabi Shalat dalam kuburnya
7. Fath ul Bari ba-Sharah Sahih al-Bukhari : Hadits Aisyah : Orang Mati (orang kafir) tidak bisa mendengar , Hadits Ibnu umar : orang mati (mukmin /shalih) bisa mendengar
8. Imam Sakhawi’s ‘al-Qawl al-Badi’ : Nabi Muhammad Melihat Musa as. shalat didalam kuburnya, bertemu para Nabi di Baitul Maqdis dan di langit.
9. Sharah ush-Shifah -Mullah Ali Qari: Nabi Muhammad melihat dan mendoakan orang yang bershalawat kepadanya
1. Tafsir-ul-Qur’an al-Azim, Ibn Kathir : Sahabat yang meninggal menjawab dari dalam kuburnya
Ibn Kathir menulis: Ibnu Asakir meriwayatkan dalam biografi Amr Ibn Jamah: “Seorang muda yang biasa datang ke Masjid untuk beribadah. Suatu hari seorang wanita dengan niat buruk mengundangnya ke rumahnya Ketika ia berada di rumahnya, ia membacakan.. sebuah ayat dari Al-Qur’an (إن ٱلذين ٱتقوا إذا مسهم طئف من ٱلشيطن تذكروا فإذا هم مبصرون) dengan suara keras dan pingsan dan meninggal karena takut kepada Allah, orang-orang berdoa dipemakamannya dan menguburkannya.. “Umar (semoga Allah berkenan dengan dia) bertanya: ‘Di mana bahwa anak muda yang sering datang ke Masjid untuk beribadah? “Mereka menjawab: “Dia meninggal dan kami menguburkannya ‘Umar (semoga Allah berkenan dengan dia) pergi ke kuburnya dan memanggilnya dan membacakan ayat dari Al-Qur’an:”. Tapi bagi orang yang ketakutan untuk berdiri di hadapan Tuhannya ada dua surga ‘(Sura al-Rahman, 46) pemuda menjawab dari kuburnya’ Sesungguhnya Allah telah memberi saya dua surga ‘[Tafsir Ibnu Katsir Volume 006, No 496 Halaman, Under 7: 202]
Ibn Kathir writes: Ibn Asakir narrated in biography of Amr Ibn Jamah: “A young person used to come to the Mosque for his prayers. One day a woman with bad intentions invited him to her house. When he was in her house, he recited a verse from the Qur’an (إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوْاْ إِذَا مَسَّهُمْ طَـٰئِفٌ مِّنَ ٱلشَّيْطَـٰنِ تَذَكَّرُواْ فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ) loudly and collapsed and died from the fear of Allah. The people prayed the funeral prayer and buried him. ‘Umar (may Allah be well pleased with him) asked: ‘Where is that young individual who used to come to the Mosque for his prayers?’ They replied: ‘He passed away and we have buried him’. ‘Umar (may Allah be well pleased with him) went to his grave and called out to him and recited a verse from the Holy Qur’an: ‘But for him who fears to stand before his Lord there are two Paradises’ (Sura al-Rahman, 46) The young man replied from his grave ‘Indeed Allah has given me two Paradises’ [Tafsir Ibn Kathir Volume 006, Page No. 496, Under 7:202]



2. Sunan al-Kubra , Imam al-Bayhaqi : Jasad Shahabat Masih utuh setelah setahun dikubur
Sunan al-Kubra Baihaqi, Publish: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon
Jabir bin Abdullah mengatakan bahwa pada pertempuran hari Uhud, seseorang dimakamkan bersama dengan ayah saya, saya tidak senang tentang hal ini, saya mengambil ayah saya (memindahkan jasad) mengeluarkanna a dan dimakamkan di tempat lain, Jabir bin Abduallah mengatakan bahwa saya mengambil (jasad) ayah saya setelah tahun (dikubu) kami dapati setiap bagian dari tubuh baik-baik saja dan sempurna seperti sebelumnya ‘, Imam Baihaqi mengatakan dari Sanad lain. Jabir bin Abdullah mengatakan bahwa saya dikuburkan seseorang bersama dengan ayah saya, sehingga beberapa hajat datang ke padaku, dan setelah enam bulan, saya mengambil jasadnya,kami dapati rambut, jenggot semua bagian lain dari tubuh adalah seperti sebelumnya’. [Sunan al-Kubra, Baihaqi, Volume 004, Bab No 141, Halaman No 95, Hadis Nomor 7.076-7.077]
Jabir bin Abdullah says that on the day battle of Uhad a person was buried along with my father, i wasnt happy on this, i took my father out and buried at another place, Jabir bin Abduallah says that i took my father our and except the year ‘every part of the body was fine and perfect as before’, Imam Bayhaqi says from another Sanad. Jabir bin Abdullah says that I buried a person along with my father, so some thing came into my heart, and after six months i took it out, ‘except only a few hairs of beard all other parts of body was as before’. [Sunan al-Kubra, Bayhaqi, Volume 004, Chapter No. 141, Page No. 95, Hadith Number 7076-7077]


3. Tafsir Mafatih al-Ghayb, by Imam Fakhr ud-Deen ar-Razi, Publish by Dar al Fiqar, Beriut, Lebanon


4. Mirqat al-Mafatih Sharah Mishqat
Mirqat al-Mafatih Sharah Mishqat, Mullah Ali Qari, Publish: Dar al-Kutub al-ILmiyah, Beirut/Lebanon
Mullah Ali Qari on Hadhir o Nadhir: [And he (Nuh) shall reply, ‘Muhammad and his Community’] This means that his Community is witness while he vouches for them, but his mention came first out of reverence (للتعظيم). It not Ba’eed (i.e. impossible) that the Prophet (Peace be upon him) is himself witness for Nuh, since it is a context of help and Allah Most High said [When Allah made (His) convenant with the Prophets] until He said [you shall believe in him and you shall help him] (3:81). In this there is a remarkable warning that the Prophet (Peace be upon him) “IS PRESENT AND WITNESSING” in the Greatest Inspection (وفيه تنبيه نبيه أنه حاضر ناظر في ذلك العرض الأكبر), when the Prophets are brought, Nuh being the first, and the latter’s witnesses are brought, namely, this Community. [Mirqat al-Masabih Sharah Mishqat, Mullah Ali Qari Volume 010, Page No. 210, Published by Dar al-Kutub al-ILmiyah]
Mullah Ali Qari on Hadhir o Nadhir: [And he (Nuh) shall reply, ‘Muhammad and his Community’] This means that his Community is witness while he vouches for them, but his mention came first out of reverence (للتعظيم). It not Ba’eed (i.e. impossible) that the Prophet (Peace be upon him) is himself witness for Nuh, since it is a context of help and Allah Most High said [When Allah made (His) convenant with the Prophets] until He said [you shall believe in him and you shall help him] (3:81). In this there is a remarkable warning that the Prophet (Peace be upon him) “IS PRESENT AND WITNESSING” in the Greatest Inspection (وفيه تنبيه نبيه أنه حاضر ناظر في ذلك العرض الأكبر), when the Prophets are brought, Nuh being the first, and the latter’s witnesses are brought, namely, this Community. [Mirqat al-Masabih Sharah Mishqat, Mullah Ali Qari Volume 010, Page No. 210, Published by Dar al-Kutub al-ILmiyah]
Mirqat al-Mafatih Sharah Mishqat, Mullah Ali Qari, Publish: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut / Lebanon
Mullah Ali Qari pada Hadhir o Nadhir: [Dan dia (Nuh) akan menjawab, 'Muhammad dan Masyarakat nya'] Ini berarti bahwa masyarakat itu adalah saksi sementara ia vouches untuk mereka, tetapi menyebutkan nya datang pertama keluar dari hormat (للتعظيم). Ini tidak Ba’eed (yaitu mustahil) bahwa Nabi (saw) adalah dirinya saksi untuk Nuh, karena merupakan konteks bantuan dan Allah Swt mengatakan [Ketika Allah membuat (Nya) Convenant dengan Nabi] sampai Dia mengatakan [Anda harus percaya kepada-Nya dan Anda akan membantunya] (3:81). Dalam hal ini ada peringatan yang luar biasa bahwa Nabi (saw) “hadir dan menyaksikan” dalam Inspeksi Greatest (وفيه تنبيه نبيه أنه حاضر ناظر في ذلك العرض الأكبر), ketika Nabi dibawa, Nuh menjadi yang pertama, dan saksi yang terakhir dibawa, yaitu Komunitas ini. [Mirqat al-Masabih Sharah Mishqat, Mullah Ali Qari Volume 010, No 210 Halaman, Diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-Ilmiyah]
Mullah Ali Qari pada Hadhir o Nadhir: [Dan dia (Nuh) akan menjawab, 'Muhammad dan Masyarakat nya'] Ini berarti bahwa masyarakat itu adalah saksi sementara ia vouches untuk mereka, tetapi menyebutkan nya datang pertama keluar dari hormat (للتعظيم). Ini tidak Ba’eed (yaitu mustahil) bahwa Nabi (saw) adalah dirinya saksi untuk Nuh, karena merupakan konteks bantuan dan Allah Swt mengatakan [Ketika Allah membuat (Nya) Convenant dengan Nabi] sampai Dia mengatakan [Anda harus percaya kepada-Nya dan Anda akan membantunya] (3:81). Dalam hal ini ada peringatan yang luar biasa bahwa Nabi (saw) “hadir dan menyaksikan” dalam Inspeksi Greatest (وفيه تنبيه نبيه أنه حاضر ناظر في ذلك العرض الأكبر), ketika Nabi dibawa, Nuh menjadi yang pertama, dan saksi yang terakhir dibawa, yaitu Komunitas ini. [Mirqat al-Masabih Sharah Mishqat, Mullah Ali Qari Volume 010, No 210 Halaman, Diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-Ilmiyah]


5. al-Albani, in Silsilat al-ahadith al-sahihah: Para Nabi Shalat dalam kuburnya
(al-anbiya’u ahya’un fi quburihim yusallun) “The Prophets are alive in their graves, praying to their Lord” [al-Albani, in Silsilat al-ahadith al-sahihah Volume 02, Page No. 187, Hadith Number 621]
(al-anbiya’u ahya’un fi quburihim yusallun) “Para nabi yang hidup di kuburan mereka, shalat/berdoa kepada Tuhan mereka” [Al-Albani, di Silsilat al-hadis al-sahihah Volume 02, Halaman No 187, Hadis Nomor 621]


6. Hayat ul-Anbiyah Imam al-Bayhaqi: Para Nabi Shalat dalam kuburnya
Anas bin malik melaporkan: Rasulullah (saw) mengatakan: Para nabi yang hidup di kuburan mereka, shalat/berdoa kepada Tuhan mereka. [Baihaqi, Hayat ul-Anbiyah, Page No 003] – (1) FN: Imam Suyuthi mengatakan dalam Jami al-Saghir Abu Ya’la melaporkan Anas bin Dikisahkan dengan ‘marfu’ Muhadith Banyak yang mengatakan itu adalah suara Malik. (saihih)
Anas bin malik reported: Allah’s Messenger (Peace Be Upon Him) said: The Prophets are alive in their graves, praying to their Lord. [Bayhaqi, Hayat ul-Anbiyah, Page No. 003] – (1) FN: Imam Suyuti said in Jami al-Saghir Abu Ya’la reported Anas bin Malik Narrated with ‘marfu’ Many Muhadith said it is sound. (shahih)



7. Fath ul Bari ba-Sharah Sahih al-Bukhari : Hadits Aisyah : Orang Mati (orang kafir) tidak bisa mendengar , Hadits Ibnu umar : orang mati (mukmin /shalih) bisa mendengar
Imam Ibnu hajr Asqalani (rah) pada hadits Aisyah (ra dengan dia) ‘Orang mati tidak bisa mendengar kita’ [Bukhari Volume 005, Buku 059, Hadis Nomor 316, Online]: [dhukira]: telah disebutkan dalam Isma ‘Ilis narasi, katanya:’ mencapai Aisyah ‘[anna ayishata Balagah-ha] namun saya tidak tahu siapa wartawan [mubalig] adalah. Namun, dia [Ismailiyah] memiliki laporan lain dari mana ia disimpulkan bahwa urwah yang telah meriwayatkan hal ini. [Wahil]: ketakutan, teror. juga telah dilaporkan sebagai ‘wahal’ tetapi yang terkenal adalah ‘wahil’, itu salah baik dalam makna dan juga salah dalam tegang. Jika dibaca ‘wahal’ artinya: [dia] ketakutan, pelupa, pengecut dan memprihatinkan. [Fazia wa nasiya wa wa jabuna qalaqa] Farabi, Az’hari, Ibn al-qatta’a, Ibnu faris, Qabisi dan orang lain telah mengatakan: ‘wahaltu ilayh’ [aku takut / khawatir tentang hal itu] dengan fat’hah; ‘ahil’ dengan kasrah dan wahlan dengan sukun.That adalah ‘ketika keraguan Anda condong ke arah yang’ Qali dan Jawhari mengatakan: ‘dan Anda berarti [sesuatu] selain itu dan ibn al-qatta’a telah menambahkan lebih.’ … …. (Catatan penerjemah:.. Ini adalah argumen linguistik yang tidak masuk akal ketika diterjemahkan, Imam Ibnu hajr yang membahas perbedaan dalam penggunaan sangat tidak relevan dengan diskusi kita, tetapi diterjemahkan di sini untuk tetap konsisten) ……… [Dia berkata: "yaitu, ketika mereka dikirim ke neraka ']: Wartawan di sini adalah Urwah. Dia mencoba untuk menjelaskan apa yang Aisha (ra dengan dia) berarti dan menunjukkan bahwa negasi dalam ayat Alquran: “Anda tidak dapat membuat orang mati mendengar ‘diturunkan dan dibatasi [muqayyad] untuk periode setelah mereka [musyrik ] yang dimasukkan ke dalam api neraka. Dan di sini tidak ada konflik dalam penolakan Aisyah (ra dengan dia) dan penegasan dari Ibnu Umar [bahwa orang mati mendengar] karena hal ini telah diklarifikasi dan dijelaskan dalam bab tentang pemakaman. [Al-janayiz]
Namun, setelah satu narasi ini membuktikan bahwa Aisha (ra dengan dia) membantah [pendengaran seperti orang mati] secara absolut, karena dia bersikeras bahwa hadits itu dalam kata-kata ‘sesungguhnya, mereka akan mengetahui’ dan bahwa Ibn Umar keliru [wahma] ketika ia mengatakan ‘mereka akan mendengar. “Baihaqi berkata:’ pengetahuan tidak meniadakan mendengar ‘Ayat ini kemudian menjelaskan bahwa’ mereka tidak dapat dibuat untuk mendengar ketika mereka mati ‘tapi kemudian Allah memberi mereka kehidupan dan kemudian mereka mendengar ‘menurut Qatadah. [Juga] Umar dan putranya bukanlah satu-satunya yang telah melaporkan peristiwa ini [dari mereka yang tewas dalam badr ditangani], bahkan Abu Tal’aah setuju dengan mereka karena kami telah dijelaskan sebelumnya. Tabarani memiliki laporan ketat dikonfirmasi [isnadin sahih] meriwayatkan dari Ibnu Masud mirip dengan yang satu ini. [Fath ul Bari Volume 007, No 303 Halaman]
Namun, setelah satu narasi ini membuktikan bahwa Aisha (ra dengan dia) membantah [pendengaran seperti orang mati] secara absolut, karena dia bersikeras bahwa hadits itu dalam kata-kata ‘sesungguhnya, mereka akan mengetahui’ dan bahwa Ibn Umar keliru [wahma] ketika ia mengatakan ‘mereka akan mendengar. “Baihaqi berkata:’ pengetahuan tidak meniadakan mendengar ‘Ayat ini kemudian menjelaskan bahwa’ mereka tidak dapat dibuat untuk mendengar ketika mereka mati ‘tapi kemudian Allah memberi mereka kehidupan dan kemudian mereka mendengar ‘menurut Qatadah. [Juga] Umar dan putranya bukanlah satu-satunya yang telah melaporkan peristiwa ini [dari mereka yang tewas dalam badr ditangani], bahkan Abu Tal’aah setuju dengan mereka karena kami telah dijelaskan sebelumnya. Tabarani memiliki laporan ketat dikonfirmasi [isnadin sahih] meriwayatkan dari Ibnu Masud mirip dengan yang satu ini. [Fath ul Bari Volume 007, No 303 Halaman]
Ada laporan serupa diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Sidan dan dalam laporan itu adalah memiliki kata-kata ini: “mereka [sahabat] berkata, ‘O’ Rasulullah (saw) mereka [yang mati] mendengarnya? ‘Dia menjawab ‘mereka mendengar seperti yang Anda dengar, tetapi mereka tidak dapat menjawab’ Dalam [buku] al-Maghazi [kampanye] oleh Ibnu Is’haq ada yang luar biasa [jarang, Gharib] narasi dilaporkan oleh Ibn Yunus Bukayr melalui rantai yang sah [isnadin jayyid ] dari Aisha (ra dengan dia) yang mirip dengan narasi oleh Abu Thalhah dan [tambahan,] mengandung: “Anda tidak mendengar apa yang saya katakan lagi dari mereka [yang mati] lakukan ‘dan [imam] Ahmed telah [juga] melaporkan ini dengan rantai baik dikonfirmasi [isnadin hasan] dan jika hal ini dipertahankan, maka seolah-olah dia ditarik dari posisi mantan penolakan sebagaimana terbukti dari sahabat ini [dalam laporan] karena ia tidak menyaksikan bahwa acara [dari badr, sedangkan Umar melakukan]. Ismailiyah mengatakan: tidak ada keraguan bahwa Aisha (ra dengan dia) memiliki ketajaman otak, kecerdasan, koleksi besar narasi dan wawasan yang mendalam [al-ghaws fi ghawamidi'l ilm] dalam ilmu yang tak tertandingi , tapi tetap saja, bahkan dia tidak bisa membantah laporan sebuah narator handal [dalam hal ini Umar dan putranya] kecuali dengan narasi serupa yang dapat membuktikan, baik pencabutan, eksklusivitas atau ketidakmungkinan laporan bertentangan. [Naskhihi, takhsisihi, istihalatihi] sehingga tidak mungkin untuk mendamaikan [bertentangan] laporan penolakan dan penegasan dirinya, kecuali seperti di atas [bahwa dia ditarik dari posisi mantan] Juga ayat ‘sesungguhnya, Anda tidak dapat membuat orang mati mendengar’ tidak tidak bertentangan dengan perkataan-Nya (saw): “. Sesungguhnya, sekarang mereka mendengar ‘karena’ membuat seseorang mendengar ‘[al-Isma'a] adalah untuk memberikan suara di telinga pendengar. Dan itu adalah Allah tala yang membuat mereka mendengar dengan membuat suara nabi-Nya untuk mencapai ears.And mereka mengenai apa yang dia [Aisha] mengatakan dalam laporannya ‘sesungguhnya mereka tahu’ dia tidak akan menegasikan laporan lain jika dia mendengar dari yang satu ini. Suhaiyli mengatakan bahwa ‘hal ini terbukti dari permintaan dari teman-temannya, bahwa dasar dari laporan yang sangat merupakan kejadian yang tidak biasa dan mukjizat Rasulullah (saw), ketika mereka bertanya kepadanya: “Anda mengatasi orang yang mati dan busuk ‘dan ia menjawab kepada mereka [seperti yang disebutkan dalam hadits di atas] Jadi, jika mereka bisa’? tahu ‘dalam keadaan itu, tentu mereka dapat mendengar? ini dimungkinkan oleh telinga eksternal mereka – menurut komentator sebagian besar – atau oleh telinga hati mereka. Mereka yang mengatakan bahwa ‘pertanyaan diarahkan jiwa dan tubuh’ menggunakan hadits ini sebagai bukti mereka. Dan orang-orang yang membantah mereka berkata: ‘pertanyaan ditujukan hanya untuk jiwa, karena’ pendengaran ‘bisa baik oleh telinga eksternal atau oleh telinga hati. [Ekspresi khas arab] dan ada tidak tetap lingkup apapun untuk argumen lebih lanjut [lam yabqa fihi'l hujjah] saya katakan [Ibnu hajr]: jika ini adalah sebuah keajaiban dari Rasulullah (saw), tidak benar untuk menggunakan ini sebagai bukti untuk [generik] soal mempertanyakan [di kuburan] Para penafsir Alquran [ahlu't ta-wil] telah berbeda pada siapa yang dijelaskan oleh kata ‘mati’ dalam ayat tersebut: ‘ Sesungguhnya Anda tidak dapat membuat orang mati mendengar. “Demikian pula, ada perbedaan yang digambarkan oleh ‘orang-orang dalam kuburan’ Aisyah (ra dengan dia) disimpulkan oleh makna yang jelas dan membawanya sebagai prinsip untuk menjelaskan. mengatakan dari [Rasulullah] “Anda tidak mendengar lagi apa yang saya katakan, daripada yang mereka lakukan. ‘itulah yang kebanyakan ahli katakan [tentang penolakan Aisha]. Hal ini juga mengatakan bahwa ‘orang mati’ dan ‘orang-orang di kuburan’ adalah metafora [Majaz] yang menggambarkan orang-orang kafir. yaitu, meskipun mereka masih hidup, mereka menyerupai orang mati. Jika itu terjadi, maka ayat ini tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk apa Aisha (ra dengan dia) dinegasikan. (Allah Ta’la a’lam) [Fath ul Bari Volume 007, Halaman 304]
english:
Imam Ibn Hajr Asqalani (rah) on hadith Aisha (may Allah be pleased with her) ‘The dead cannot hear us’ [Bukhari Volume 005, Book 059, Hadith Number 316, Online]: [dhukira] : it has been mentioned in Isma’ilis narration, he says: ‘it reached Aisha’ [anna ayishata balagha-ha] however i don’t know who the reporter [muballigh] is. however, he [isma'ili] has another report from which it is inferred that it is urwah who has reported this. [wahil]: fright, terror. it has also been reported as ‘wahal’ but that which is well-known is ‘wahil’; it is wrong both in meaning and also incorrect in tense. If it is read ‘wahal’ it means: [he is] terrified, forgetful, cowardly and apprehensive. [fazia wa nasiya wa jabuna wa qalaqa] Farabi, Az’hari, Ibn al-qatta’a, Ibn faris, Qabisi and others have said: ‘wahaltu ilayh’ [i was scared/apprehensive about it] with the fat’hah; ‘ahil’ with kasrah and wahlan with sukun.That is ‘when your doubt inclines towards that’ Qali and Jawhari said: ‘and you mean [something] other than that and ibn al-qatta’a has added more.’……. (Translator’s note: this is a linguistic argument which doesn’t make much sense when translated; Imam Ibn Hajr is discussing differences in usage. quite irrelevant to our discussion but translated here to remain consistent.)……… [He said: ‘that is, when they are sent to hell’]:The reporter here is úrwah. He is trying to explain what Aisha (may Allah be pleased with her) meant and indicates that the negation in the qur’anic verse: ‘you cannot make the dead hear’ is relegated and restricted [muqayyad] to the period after they [polytheists] are put in hellfire. And here there is no conflict in the denial of Aisha (may Allah be pleased with her) and the affirmation of ibn Umar [that the dead hear] as this has been clarified and explained in the chapter on funerals. [al-janayiz]
However, the narration after this one proves that Aisha (may Allah be pleased with her) denied [such hearing of the dead] in absolute terms, since she insisted that the hadith was in the words ‘verily, they shall know’ and that Ibn Umar was mistaken [wahma] when he said ‘they shall hear.’ Bayhaqi said: ‘knowledge does not negate hearing’ The verse is then explained that ‘they cannot be made to hear when they are dead’ but then Allah gave them life and then they heard’ according to qatadah. [also] Umar and his son are not the only ones who have reported this event [of those killed in badr being addressed]; even Abu Tal’aah agrees with them as we have described earlier. Tabarani has a rigorously authenticated report [isnadin sahih] narrated from Ibn Masud similar to this one. [Fath ul Bari Volume 007, Page No. 303]
There is a similar report narrated from Abdullah Ibn Sidan and in that report it is has these words: ‘they [companions] said, ‘O’ Messenger of Allah (Peace Be Upon Him) do they [the dead] hear?’ he replied ‘they hear as you hear, but they cannot reply’ In [the book] al-maghazi [campaigns] by Ibn Is’haq there is an exceptional [uncommon, gharib] narration reported by Yunus Ibn Bukayr through a valid chain [isnadin jayyid] from Aisha (may Allah be pleased with her) that is similar to the narration by Abu Talha and [additionally,] it contains: ‘you do not hear what i say anymore than they [the dead] do’ and [imam] Ahmed has [also] reported this with a well authenticated chain [isnadin hasan] and if this is retained, then it is as if she retracted from her former position of denial as proven from these companions [in these reports] because she had not witnessed that event [of badr, whereas Umar did] . Isma’ili says: there is no doubt that Aisha (may Allah be pleased with her) had the perspicacity, intelligence, a vast collection of narrations and a deep insight [al-ghaws fi ghawamidi’l ilm] in the sciences which is unrivalled; but still, even she cannot refute a report of a reliable narrator [in this case Umar and his son] except with a similar narration that can prove, either the abrogation, exclusivity or the impossibility of the contradicting report. [naskhihi, takhsisihi, istihalatihi] therefore it is impossible to reconciliate [contradictory] reports of her denial and her affirmation except as above [that she retracted from her former position] Also the verse ‘verily, you cannot make the dead to hear’ does not contradict his saying (Peace Be Upon Him): ‘verily, now they hear.’ because ‘to make someone hear’ [al-Isma’a] is to deliver the sound in the ear of the hearer. And it is Allah tala who makes them to hear by making the voice of His prophet to reach their ears.And regarding what she [Aisha] said in her report ‘verily they know’ she would not have negated the other report if she had heard of this one. Suhaiyli said that ‘it is evident from the query of his companions, that the basis of the very report is an unusual occurrence and a miracle of Messenger of Allah (Peace Be Upon Him), when they asked him: ‘do you address a people who are dead and rotten?’ and he replied to them [as mentioned in the hadith above] So, if they can ‘know’ in that state, certainly they can hear? this is possible by their external ears – according to a most commentators – or by the ears of their heart. Those who say that ‘the question is directed towards the soul and the body’ use this hadith as their proof. And those who refute them say: ‘the question is addressed only to the soul; because ‘hearing’ can be either by external ears or by the ears of the heart. [expression peculiar to arabic] and there does not remain any scope for further argument [lam yabqa fihi’l hujjah] I say [Ibn Hajr]: if this was a miracle of Messenger of Allah (Peace Be Upon Him), it is not correct to use this as a proof for [the generic] matter of questioning [in the grave] The qur’anic exegetes [ahlu’t ta-wil] have differed on who is described by the word ‘dead’ in the verse: ‘verily you cannot make the dead to hear.’ Similarly, there is difference on who is described by ‘those in the graves.’ Aisha (may Allah be pleased with her) inferred by the obvious meaning and took it as the principle to explain the saying of [Messenger of Allah] ‘you do not hear anymore what i say, than they do.’ that is what most scholars say [about Aisha's denial]. It is also said that ‘the dead’ and ‘those in graves’ is a metaphor [majaz] that describes the disbelievers. that is, even though they are alive, they resemble the dead. If that is the case, then this verse cannot be used as evidence for what Aisha (may Allah be pleased with her) negated. (Allah Ta’la knows best) [Fath ul Bari Volume 007, Page 304]
However, the narration after this one proves that Aisha (may Allah be pleased with her) denied [such hearing of the dead] in absolute terms, since she insisted that the hadith was in the words ‘verily, they shall know’ and that Ibn Umar was mistaken [wahma] when he said ‘they shall hear.’ Bayhaqi said: ‘knowledge does not negate hearing’ The verse is then explained that ‘they cannot be made to hear when they are dead’ but then Allah gave them life and then they heard’ according to qatadah. [also] Umar and his son are not the only ones who have reported this event [of those killed in badr being addressed]; even Abu Tal’aah agrees with them as we have described earlier. Tabarani has a rigorously authenticated report [isnadin sahih] narrated from Ibn Masud similar to this one. [Fath ul Bari Volume 007, Page No. 303]
There is a similar report narrated from Abdullah Ibn Sidan and in that report it is has these words: ‘they [companions] said, ‘O’ Messenger of Allah (Peace Be Upon Him) do they [the dead] hear?’ he replied ‘they hear as you hear, but they cannot reply’ In [the book] al-maghazi [campaigns] by Ibn Is’haq there is an exceptional [uncommon, gharib] narration reported by Yunus Ibn Bukayr through a valid chain [isnadin jayyid] from Aisha (may Allah be pleased with her) that is similar to the narration by Abu Talha and [additionally,] it contains: ‘you do not hear what i say anymore than they [the dead] do’ and [imam] Ahmed has [also] reported this with a well authenticated chain [isnadin hasan] and if this is retained, then it is as if she retracted from her former position of denial as proven from these companions [in these reports] because she had not witnessed that event [of badr, whereas Umar did] . Isma’ili says: there is no doubt that Aisha (may Allah be pleased with her) had the perspicacity, intelligence, a vast collection of narrations and a deep insight [al-ghaws fi ghawamidi’l ilm] in the sciences which is unrivalled; but still, even she cannot refute a report of a reliable narrator [in this case Umar and his son] except with a similar narration that can prove, either the abrogation, exclusivity or the impossibility of the contradicting report. [naskhihi, takhsisihi, istihalatihi] therefore it is impossible to reconciliate [contradictory] reports of her denial and her affirmation except as above [that she retracted from her former position] Also the verse ‘verily, you cannot make the dead to hear’ does not contradict his saying (Peace Be Upon Him): ‘verily, now they hear.’ because ‘to make someone hear’ [al-Isma’a] is to deliver the sound in the ear of the hearer. And it is Allah tala who makes them to hear by making the voice of His prophet to reach their ears.And regarding what she [Aisha] said in her report ‘verily they know’ she would not have negated the other report if she had heard of this one. Suhaiyli said that ‘it is evident from the query of his companions, that the basis of the very report is an unusual occurrence and a miracle of Messenger of Allah (Peace Be Upon Him), when they asked him: ‘do you address a people who are dead and rotten?’ and he replied to them [as mentioned in the hadith above] So, if they can ‘know’ in that state, certainly they can hear? this is possible by their external ears – according to a most commentators – or by the ears of their heart. Those who say that ‘the question is directed towards the soul and the body’ use this hadith as their proof. And those who refute them say: ‘the question is addressed only to the soul; because ‘hearing’ can be either by external ears or by the ears of the heart. [expression peculiar to arabic] and there does not remain any scope for further argument [lam yabqa fihi’l hujjah] I say [Ibn Hajr]: if this was a miracle of Messenger of Allah (Peace Be Upon Him), it is not correct to use this as a proof for [the generic] matter of questioning [in the grave] The qur’anic exegetes [ahlu’t ta-wil] have differed on who is described by the word ‘dead’ in the verse: ‘verily you cannot make the dead to hear.’ Similarly, there is difference on who is described by ‘those in the graves.’ Aisha (may Allah be pleased with her) inferred by the obvious meaning and took it as the principle to explain the saying of [Messenger of Allah] ‘you do not hear anymore what i say, than they do.’ that is what most scholars say [about Aisha's denial]. It is also said that ‘the dead’ and ‘those in graves’ is a metaphor [majaz] that describes the disbelievers. that is, even though they are alive, they resemble the dead. If that is the case, then this verse cannot be used as evidence for what Aisha (may Allah be pleased with her) negated. (Allah Ta’la knows best) [Fath ul Bari Volume 007, Page 304]



8. Imam Sakhawi’s ‘al-Qawl al-Badi’ : Nabi Muhammad Melihat Musa as. shalat didalam kuburnya, bertemu para Nabi di Baitul Maqdis dan di langit.
Imam Sakhawi ‘al-Qawl al-Badi’ – (Kalmi Nuskha) Jamiyah al-Riyadh
Abu Zar dan Malik Hadis pada Miraj membuktikan bahwa Nabi Muhammad (saw) bertemu kelompok Nabi (As) di langit, Anda (Muhammad S.a.w) berbicara dengan mereka dan mereka (saw) berbicara dengan Anda (Nabi Muhammad s.a.w), ini semua adalah benar (shahih) dan mereka tidak kebingungan tentang dimana saja, Rasulullah (saw) melihat Musa (saw) dan lain-lain di kuburan mengerjakan salah, kemudian dia (Nabi Muhammad saw) melihat Musa (saw) dan para Nabi lainnya (saw) di Bayt-ul-Muqadas, maka Nabi (saw) dibawa ke langit, maka Nabi (Perdamaian Jadilah setelah Nya) juga melihat mereka di langit seperti Rasulullah (saw) melihat mereka di kuburan demikian kehadiran nabi (saw) di tempat-tempat yang logis setelah mereka meninggal.
Imam Sakhawi’s ‘al-Qawl al-Badi’ – (Kalmi Nuskha) Jamiyah al-Riyadh
Abu Zar and Malik’s Hadith on Miraj proves that Prophet Muhammad (Peace Be Upon Him) met group of Prophets (Peace Be Upon Him) on sky, You (Peace Be Upon Him) talked to them and they (Peace Be Upon Him) talked to You (Peace Be Upon Him), this all is sound (sahih) and their is no confusion about it any where, Messenger of Allah (Peace Be Upon Him) saw Musa (Peace Be Upon Him) and others in graves offering Salah, then He (Peace Be Upon Him) saw Musa (Peace Be Upon Him) and other Prophets (Peace Be Upon Him) at Bayt-ul-Muqadas, then Holy Prophet (Peace Be Upon Him) was taken to the skies, then Prophet (Peace Be Upon Him) also saw them in the skies just as Messenger of Allah (Peace Be Upon Him) saw them in the graves so does the presence of Prophets (Peace Be Upon Him) at those places was logical after they died.


9. Sharah ush-Shifah -Mullah Ali Qari: Nabi Muhammad melihat dan mendoakan orang yang bershalawat kepadanya
(Jika tidak ada orang yang hadir di rumah maka salah satu harus membaca Shalawat : Damai sejahtera bagimu, wahai Rasulullah dan rahmat Allah dan berkah) . Saat melakukan syarah ini Mullah Ali Qari (rah) menulis: “Artinya, karena ruh (Nabi Muhammad Saw. ), hadir (melihat dari dalam kuburnya) di rumah kaum muslimin (yg bershalawat kepadanya). [Mullah Ali Qari, Sharah ush-Shifah, Volume 002, No 117 Halaman]
(If nobody is present in the house then one should say: Peace be upon you O Messenger of Allah and Allah’s Mercy and blessings) while doing Sharh of this Mullah Ali Qari (rah) writes: “Meaning, because his (Peace Be Upon Him) soul, is present in the house of the Muslims. [Mullah Ali Qari, Sharah ush-Shifah, Volume 002, Page No. 117]


Filed under: ' Ahlusunnah membantah fatwa sesat wahaby, 'Legalitas Tawasul - Bukti 20 scan kitab imam sunni, 6 Scanned Books : Proof Live after Death : Mereka Yang Hidup setelah Mati (Para nabi dan wali : Menjawab Salam - shalat - berdoa - jasad utuh etc di dalam kuburnya) | Tagged: 6 Scanned Books : Proof Live after Death : Mereka Yang Hidup setelah Mati (Para nabi dan wali : Menjawab Salam - shalat - berdoa - jasad utuh etc di dalam kuburnya) | Leave a Comment »
Legality of Tawassul /inter mediation : Part 2 (5 of 21 Scanned Kitab of Musnad Ahmad bin Hambal – Tuhfah uth-Dhakireen (Assawkani) – Sunan Darimi – Tafsir Ibn Katsir – al-Musannaf Ibn Abi Shaybah)
Posted on October 1, 2012 by admin
Musnad Ahmad bin Hambal
Front Cover Musnad Ahmad bin Hambal, Publish: Dar al-Hadith al-Qahira Misr
Hakim declared that it fulfils the requirements of authentic traditions as demanded by Bukhari and Muslim, while Dhahabi has also called it sahih (sound). It is attributed to Dawud bin Abu Salih. He says: one day Marwan came and he saw that a man was lying down with his mouth turned close to the Prophet’s grave. Then he (Marwan) said to him, “Do you know what are you doing?” When he moved towards him, he saw that it was Abu Ayyub al-Ansari. (In reply) he said, “Yes (I know) I have come to the Messenger of Allah (Peace Be Upon Him) and not to a stone. I have heard it from the Messenger of God (Peace Be Upon Him) not to cry over religion when its guardian is competent. Yes, shed tears over religion when its guardian is incompetent. [Ahmad bin Hambal with a sound chain of transmission in his Musnad Volume 017, Page No. 42-43, Hadith Number 23476]
Hakim declared that it fulfils the requirements of authentic traditions as demanded by Bukhari and Muslim, while Dhahabi has also called it sahih (sound). It is attributed to Dawud bin Abu Salih. He says: one day Marwan came and he saw that a man was lying down with his mouth turned close to the Prophet’s grave. Then he (Marwan) said to him, “Do you know what are you doing?” When he moved towards him, he saw that it was Abu Ayyub al-Ansari. (In reply) he said, “Yes (I know) I have come to the Messenger of Allah (Peace Be Upon Him) and not to a stone. I have heard it from the Messenger of God (Peace Be Upon Him) not to cry over religion when its guardian is competent. Yes, shed tears over religion when its guardian is incompetent. [Ahmad bin Hambal with a sound chain of transmission in his Musnad Volume 017, Page No. 42-43, Hadith Number 23476]



Tuhfah uth-Dhakireen
Tuhfah uth-Dhakireen, Front Cover, Publish Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, Lebanon
Qadhi Shawkani (rah) Writes: I says this hadith is proof for Intercession of Prophets (Peace Be Upon Him) narrated by Imam Tirmidhi, Imam Nisa’I, Imam Ibn Maja, Imam Ibn Khuzaimah in his Sahih, and Hakim said hadith is correct on Bukhari and Muslim conditions. Narrated By ‘Uthman ibn Hunayf, that a blind man came to the Prophet (Peace Be Upon Him) and said, “I’ve been afflicted in my eyesight, so please pray to Allah for me.” The Prophet (Peace Be Upon Him) said: “Go make ablution (wudu), perform two rak’as of prayer, and then say: “Oh Allah, I ask You and turn to You through my Prophet Muhammad, the Prophet of mercy; O Muhammad (Ya Muhammad), I seek your intercession with my Lord for the return of my eyesight. on Tawasuul on Saint’s that hadith is a proof which is present in Bukhari in which Umar took Tawassul of Abbas and said that we take your Intercession after Prophet (Peace Be Upon Him). [Tuhfat uth-Dhakireen Page No. 37]
Imam Qadhi Shawkani (Salafi Scholer) on Tawassul: O Allah! Verily I ask you, and turn to you through your Prophet Muhammad (Peace Be Upon Him) the Prophet of Mercy, O Muhammad verily I turn towards my Lord through you to my Lord in this need of mine, to fulfill it, O Allah intercede/cure this! This hadith has been extracted by Tirmidhi, al-Hakim in his Mustadrak and Nisa’I, and it is from the hadith of Uthman bin Hanif may Allah be pleased with him. He said a blind man came to the Messenger of Allah (Peace Be Upon Him) and said: O Messenger of Allah Pray for me! He (Peace Be Upon Him) said: If you wish I will pray for you, but if you wish, you have been patient and this is better for you. He preferred to be supplicated for. The Messenger (Peace Be Upon Him) instructed him to make Wudu and to make a perfect Wudu – Nisai’s narration adds in some of the reports (turuq) to make Wudu and pray two Rakah and then the supplication (as above). [Tuhfah al-Dhakireen Page No. 137]
It was also extracted by Ibn Maja , and al-Hakim in his mustadrak who stated that it is [authentic] according to the criterion of the two shaykhs (Muslim and Bukhari) and his narration had the addition: so he supplicated with this Dua and he arose and was able to see. Tirmidhi said the Hadith is Hasan Sahih (good and authentic) and we know this narration through this channel only from the Hadith of Abu Jafar and that is not al-Khatmi, these and other Imams have authenticated this narration, Nisa’I is alone in mentioneing the prayer, but Tabarani agreed with him and in mentions the same in some of his reports (turuq) it reports. In the narration there is [evidence] of the permissibility of Tawassul (taking a means) through the Messenger of Allah (saw) to Allah azza wa-jal with the firm belief that the only active agent (Faa’il) is Allah, for verily He alone is the giver and the preventer, what He wishes, is, and what He does not wish never can be. [Tuhfah al-Dhakireen Page No. 138]




Sunan Darimi
Front Cover Sunan Darimi, Dar al-Mughni, Riyadh, Saudia Arabia
Relates from Abu al-Jawza’ Aws bin ‘Abdullah: The people of Medina were in the grip of a severe famine. They complained to ‘A’ishah (about their terrible condition). She told them to go towards the Prophet’s grave and open a window in the direction of the sky so that there is no curtain between the sky and the grave. The narrator says they did so. Then it started raining heavily; even the lush green grass sprang up (everywhere) and the camels had grown so fat (it seemed) they would burst out due to the over piling of blubber. So the year was named as the year of greenery and plenty. [Sunan Darimi Volume 001, Page 227, Hadith Number 093] Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki says, “This tradition has a good chain of transmission; rather, in my opinion, it is sound. The scholars have also acknowledged its soundness and have established its genuineness on the basis of almost equally credible evidence. [Shifa’-ul-fu’ad bi-ziyarat khayr--il-‘ibad Page No.153]


Ibn Kathir, Tafsir-ul-Qur’an al-azim
Ibn Kathir, Tafsir-ul-Qur’an al-azim Volume 004, Page No. 140, Under the Verse 4:64
Imam Ibn Kathir on Tawassul: Many have stated this tradition. One of them is Abū Mansūr Sabbagh who writes in his book al-Hikayat-ul-mashhurah that, according to ‘Utbi, once he was sitting beside the Prophet’s grave when a bedouin came and he said, “Peace be on you, O Allah’s Messenger. I have heard that Allah says: ‘(O beloved!) And if they had come to you, when they had wronged their souls, and asked forgiveness of Allah, and the Messenger also had asked forgiveness for them, they (on the basis of this means and intercession) would have surely found Allah the Granter of repentance, extremely Merciful.I have come to you, asking forgiveness for my sins and I make you as my intermediary before my Lord and I have come to you for this purpose.” Then he recited these verses: “O, the most exalted among the buried people who improved the worth of the plains and the hillocks! May I sacrifice my life for this grave which is made radiant by you, (the Prophet,) the one who is (an embodiment) of mercy and forgiveness.” Then the bedouin went away and I fell asleep. In my dream I saw the Holy Prophet (Peace Be Upon Him). He said to me: O ‘Utbi, the bedouin is right, go and give him the good news that Allah has forgiven his sins. [Ibn Kathir, Tafsir-ul-Qur'an al-azim Volume 004, Page No. 140, Under the Verse 4:64]

al-Musannaf Ibn Abi Shaybah
Front Cover, al-Musannaf Ibn Abi Shaybah, Publish by Maqtabah ar-Rashid, Riyadh, Saudia Arabia
Malik ad-Dar has related: The people were gripped by famine during the tenure of ‘Umar (bin al-Khattab). Then a Companion walked up to the Prophet’s grave and said, “O Messenger of Allah, please ask for rain from Allah for your Community who is in dire straits.” Then the Companion saw the Prophet (Peace Be Upon Him) in a dream. The Prophet (Peace Be Upon Him) said to him, “Go over to ‘Umar, give him my regards and tell him that the rain will come to you. And tell ‘Umar that he should be on his toes, he should be on his toes, (he should remain alert).” Then the Companion went over to see ‘Umar and passed on to him the tidings. On hearing this, ‘Umar broke into a spurt of crying. He said, “O Allah, I exert myself to the full until I am completely exhausted.” [al-Musannaf Ibn Abi Shaybah Volume 011, Page No. 118, Hadith Number 32538]


Filed under: ' Ahlusunnah membantah fatwa sesat wahaby, 'Legalitas Tawasul - Bukti 20 scan kitab imam sunni, Legality of Tawassul /inter mediation : Part 1(5 of 21 Scanned Kitab of Musnad Ahmad bin Hambal - Tuhfah uth-Dhakireen (Assawkani) - Sunan Darimi - Tafsir Ibn Katsir - al-Musannaf Ibn Abi Shaybah) | Leave a Comment »
Tafsir yang bernama Abu Hayyan al Andalusi : kesesatan aqidah tajsim ibnu taymiyah
Posted on September 6, 2012 by admin


Disediakan oleh;
Abu Lehyah Al-Kelantany
0133005046
http://abulehyah.blogspot.com/
http://abulehyah.blogspot.com/
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمدلله رب العالمين, مكون الأكوان, مدبر الأزمان, الموجود أزلا وأبدا بلاكيف ولاجهة ولامكان , والصلاة والسلام على محمد سيد الأنبياء والمرسلين, وعلى ءاله الطاهرين وصحابته الطيبين, اما بعد
Abu Hayyan al-Andalusy al-Nahwiyyu al-Mufassiru al-Muqri-u Menegaskan dalam kitab tafsirnya al-Nahr al-Mad satu ungkapan yang berbunyi :
“Saya telah membaca dalam sebuah buku karya Ahmad ibn Taimiyah, seorang yang hidup semasa dengan kami, dengan tulisan tangannya sendiri, buku berjudul al-‘Arsy, ia berkata: Sesungguhnya Allah duduk di atas Kursi, dan Dia telah menyisakan tempat dari Kursi tersebut untuk Ia dudukan nabi Muhammad di sana bersama-Nya. Ibn Taimiyah ini adalah orang yang pemikirannya dikuasai oleh pemikiran at-Taj Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Abd al-Haqq al-Barinbri. Bahkan Ibn Taimiyah ini telah menyerukan dan berdakwah kepada pemikiran orang tersebut, dan mengambil segala pemikirannya darinya. Dan kita telah benar-benar membaca hal tersebut di dalam bukunya tersebut”[4].
Nukilan Abu Hayyan Al-Andalusi ini berkemungkinan tidak terdapat dalam sesetengah cetakan kerana sengaja dibuang oleh sesetengah pihak. Akan tetapi manuskip ( tulisan tangan beliau sendiri ada dengan penulis) tetap membuktikan bahawa nukilan Abu Hayyan Al-Andalusi tadi sabit. Antara sebab mereka membuangkan nukilan ini dalam cetakan mereka ialah sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Zahid al-Kautsary pada taa’liq bagi kitab Al-Shoif al-Shoqil : ” Dan telah dikhabarkan kepadaku oleh editor cetakan di tempat percetakan As-Sa’adah bahawa dia terkejut sangat, lalu dibuangnya nukilan tersebut ketika mencetakkannya supaya tidak disibukkan oleh musuh-musuh agama. Dan menjadi harapanku untuk memasukkannya kembali nukilan tadi disini supaya diambil faedah dan menjadi nasihat kepada umat Islam sejagat”.
Mari kita lihat pula di dalam kitab Ibn Taymiyah al-Harrany..jum..
Dalam kitab Majmuk Fatawa Jilid 4 m/s 374, Ibn Taymiyah Al-Harrany yang yang menjadi pujaan kepada Muhammad Abdul Wahhab, kuncu-kuncunya, dan Wahhabiyyah Mujassimah mengatakan :
إن محمدًا رسول الله يجلسه ربه على العرش معه
Akidah yang kufur ini bermaksud:
“Sesungguhnya Muhammad Rasulullah, Tuhannya mendudukkannya diatas arasy bersamaNya”.
Lihatlah mereka yang mempunyai akal yang sihat penipuan Ibn Taymiyah ini.. Sekejap cakap Allah duduk atas Al-arasy, sekejap cakap Allah duduk atas Al-kursi . Yang mana satu???!! Padahal telah sabit hadits bahawa Al-Kursi dinisbahkan dengan Al-Arasy dari sudut saiznya seperti sebentuk cincin yang bulat di tanah yang amat luas dan lapang. Bagaimana orang yang mempunyai akal yang sihat boleh menerima pentashbihan dan penajsiman terhadap Allah taala ini?? …na’uzubillah min syarrihim.Lebih menjijikkan lagi akidah Ibn Taymiyah al-Harrany ini dan membawa kepada tajsim yang lebih jelas bila mana beliau meletakkan pergantungan akidahnya kepada pandangan mujassim yang telah wujud dizaman salaf iaitu Othman Al-Darimi, dalam kitab Bayan Talbis al-Jahmiyah jilid 1 m/s 068 :
” Seandainya sesungguhnya Dia (Allah) kehendaki, nescaya dia boleh menetap di atas belakang nyamuk,lalu terangkat dengan kekuasaanNya dan kelembutan RububiyahNya, maka bagaimana pula di atas Arasy yang besar, lebih besar dari langit dan bumi?”..
Penulis menjawab : Subhanaka haza buhtanun adhzim..Perlu juga berhati-hati bila membaca kitab “Mafahim Yajibu ‘an Tusohhah” kerana terdapat unsur-unsur mempertahankan Ibn Taymiyah Al-Harrany dan Muhammad Abdul Wahhab dan juga pengarang kitab tersebut menamakan mereka (Ibn Taymiyah dan Muhammad Abdul Wahhab) berdua sebagai Syeikhul Islam..wal’yazubillah..Golongan wahhabi juga banyak menggunakan kitab ini sebagai hujah untuk mengatakan kata-kata Ibn Taymiyah Dan Muhammad Abdul Wahhab sebagai tidak sabit. Padahal ini adalah dusta dan bohong kerana penstasybihan dan pentajsiman sememang wujud di dalam kitab-kitab mereka dan diiktifar oleh mereka sendiri. Seterusnya akidah tashbih dan tajsim ini diambil pula oleh anak-anak murid mereka seperti Ibn Qayyim al-Jauziyyah, cucunya Abdur Rahman Bin Hasan bin Muhammad Bin Abdul Wahhab, kemudian Bin Baz, soleh Utsaimin dan berlambak lagi. Perkara tersebut sebenarnya tidak diingkari oleh golongan Al-Wahhabiyah..
Siapakah Abu Hayyan al-Andalusy ?
Beliau ialah Pakar Lughah (bahasa) yang masyshur, Pakar Tafsir, yang terkenal dengan karyanya al-Bahrul Al-Muhith. Kitab Al-Nahr al-Mad merupakan ringkasan beliau ke atas kitab al-Bahrul Al-Muhith.
Jawapan kepada Syubuhah wahhabi ;
Jika dibawa kenyataan Abu Hayyan Al-Andalusi memuji Ibn Taymiyah Al-Harrany, ketahuilah itu adalah sebelum beliau mengetahui Ibn Taymiyah mencela dan menghentam Sibaweh, seorang ulamak Lughah yang amat masyhur. Bilamana Ibn Taymiyah mendakwa Sibaweh bercanggah dengan Kitabullah (al-Quran) dalam banyak permasalahan (konon-konon dialah “sibaweh” yang sebenar) sedangkan Abu Hayyan al-Andaslusi pula adalah antara orang yang amat menyukai Sibaweh. Selepas diketahui hal keadaan tersebut Abu Hayyan Al-Andalusi terus menglaknat Ibn Taymiyah Al-Harrany sehinggalah beliau meninggal dunia pada 754 H. Rujuk kitab Ad-Durarul Kaminah karya tulisan al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqolany.
Disediakan oleh;
Abu Lehyah Al-Kelantany
0133005046
Bukti Scan Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin: Aqidah Imam Syafi’i -Allah Tidak Bertempat
Posted on July 3, 2012 by admin
Aqidah Imam Syafi’i -Allah Tidak Bertempat
By T. MUHAMMAD SYUHADA -
Semua Ulama Salaf mendapat fitnah dari Salafi Wahabi terhadap aqidah mereka, disebabkan oleh kesalah-pahaman Wahabi memahami hakikat Manhaj Salaf, betapa sedih ketika membaca buku atau artikel yang memuat aqidah Imam Syafi’i yang di tulis oleh para Wahabi, sadar atau tidak, tulisan mereka tentang aqidah Imam Syafi’ijustru menjadi fitnah terhadap Imam Syafi’i, yang menyedihkan lagi ketika mereka menulis biografi Imam Syafi’i, di awal tulisan mereka memuji kehebatan Imam Syafi’i setinggi langit, tapi di ujung tulisan mereka selipkan aqidah mereka yang mereka nisbahkan kepada Imam Syafi’i, sementara Imam Syafi’i terlepas dari aqidah mereka, trik ini mereka gunakan agar terkesan bahwa aqidah mereka sama persis dengan Imam Syafi’i dan para ulama salaf lain nya, padahal aqidah mereka sangat jauh berbeda dari aqidah ulama salaf, bagaikan perbedaan langit dan bumi, sebagai bukti lihat perkataan Imam Syafi’i yang termaktub dalam kitab Ithaf as-Sadati al-Muttaqin,lihat scan kitab di bawah ini :


Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق الـمكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه الـمكان لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته
“Sesungguhnya Allah ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia (Allah) menciptakan tempat, sementara Dia (Allah) tetap atas sifat azali-Nya, sebagaimana Dia (Allah) ada sebelum Dia (Allah) menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. [Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36].
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق الـمكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه الـمكان لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته
“Sesungguhnya Allah ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia (Allah) menciptakan tempat, sementara Dia (Allah) tetap atas sifat azali-Nya, sebagaimana Dia (Allah) ada sebelum Dia (Allah) menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. [Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36].
إنه تعالى كان ولا مكان
“Sesungguhnya Allah ta’ala ada dan tidak ada tempat”
Maksudnya : Allah telah ada tanpa permulaan atau di sebut azali atau qadim, dan belum ada tempat seperti ‘Arasy, langit, bumi, dan segala makhluk lain nya, Allah ta’ala sudah sempurna dengan segala sifat-Nya yang azali sebelum ada apa pun selain-Nya, sifat-sifat dzat Allah tidak lantas bertambah ketika Allah menciptakan makhluk-Nya.
“Sesungguhnya Allah ta’ala ada dan tidak ada tempat”
Maksudnya : Allah telah ada tanpa permulaan atau di sebut azali atau qadim, dan belum ada tempat seperti ‘Arasy, langit, bumi, dan segala makhluk lain nya, Allah ta’ala sudah sempurna dengan segala sifat-Nya yang azali sebelum ada apa pun selain-Nya, sifat-sifat dzat Allah tidak lantas bertambah ketika Allah menciptakan makhluk-Nya.
فخلق الـمكان وهو على صفة الأزلية
“maka Dia (Allah) menciptakan tempat, sementara Dia (Allah) tetap atas sifat azali-Nya”
Maksudnya : kemudian Allah menciptakan tempat, artinya bukan tempat Allah, tapi menciptakan makhluk-Nya yang di sangka itu adalah tempat Allah oleh orang-orang yang berprasangka buruk terhadap Allah, tetapi Imam Syafi’i menepis prasangka tersebut, beliau berkata allah tetap atas sifat azali-Nya, artinya sekalipun setelah ada makhluk-Nya, Allah tetap bersifat dengan sifat-sifat azali-Nya, tidak ada sifat yang bertambah bagi Allah setelah adanya makluk-Nya, karena sifat yang baru ada setelah adanya makhluk itu juga termasuk makhluk.
“maka Dia (Allah) menciptakan tempat, sementara Dia (Allah) tetap atas sifat azali-Nya”
Maksudnya : kemudian Allah menciptakan tempat, artinya bukan tempat Allah, tapi menciptakan makhluk-Nya yang di sangka itu adalah tempat Allah oleh orang-orang yang berprasangka buruk terhadap Allah, tetapi Imam Syafi’i menepis prasangka tersebut, beliau berkata allah tetap atas sifat azali-Nya, artinya sekalipun setelah ada makhluk-Nya, Allah tetap bersifat dengan sifat-sifat azali-Nya, tidak ada sifat yang bertambah bagi Allah setelah adanya makluk-Nya, karena sifat yang baru ada setelah adanya makhluk itu juga termasuk makhluk.
كما كان قبل خلقه الـمكان
“sebagaimana Dia (Allah) ada sebelum Dia (Allah) menciptakan tempat”
Maksudnya : Sebagaimana Allah ada sebelum adanya makhluk, dengan segala sifat kesempurnaan-Nya, begitu juga Allah dan sifat-Nya setelah adanya makhluk, adanya makhluk tidak dapat memberi pengaruh apa pun terhadap dzat dan sifat Allah, Allah maha sempurna jauh sebelum adanya makhluk.
“sebagaimana Dia (Allah) ada sebelum Dia (Allah) menciptakan tempat”
Maksudnya : Sebagaimana Allah ada sebelum adanya makhluk, dengan segala sifat kesempurnaan-Nya, begitu juga Allah dan sifat-Nya setelah adanya makhluk, adanya makhluk tidak dapat memberi pengaruh apa pun terhadap dzat dan sifat Allah, Allah maha sempurna jauh sebelum adanya makhluk.
لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته
“tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”
Maksudnya : tidak boleh (mustahil) ada perubahan pada dzat dan sifat Allah, tidak terjadi perubahan pada Allah bukan berarti itu kelemahan atau kekurangan Allah, tapi justru bila berubah, dapat menimbulkan kekurangan bagi Allah, karena Allah maha sempurna, berubah dari sempurna tentu dapat kekurangan bagi-Nya, dan setiap perubahan adalah makhluk, karena tidak ada yang dapat berubah dengan sendiri nya kecuali Allah yang menciptakan perubahan tersebut, sementara Allah adalah khaliq, bukan makhluk.
“tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”
Maksudnya : tidak boleh (mustahil) ada perubahan pada dzat dan sifat Allah, tidak terjadi perubahan pada Allah bukan berarti itu kelemahan atau kekurangan Allah, tapi justru bila berubah, dapat menimbulkan kekurangan bagi Allah, karena Allah maha sempurna, berubah dari sempurna tentu dapat kekurangan bagi-Nya, dan setiap perubahan adalah makhluk, karena tidak ada yang dapat berubah dengan sendiri nya kecuali Allah yang menciptakan perubahan tersebut, sementara Allah adalah khaliq, bukan makhluk.
Maka dengan memahami perkataan Imam Syafi’i di atas, dapat pula kita pahami Aqidah Imam Asy-Syafi’i bahwaImam Syafi’i meniadakan tempat bagi dzat Allah, Allah ada tanpa arah dan tempat, inilah hakikat aqidah ulama salaf, sangat bertolak-belakang dengan aqidah Salafi-Wahabi, yang menduga ‘Arasy adalah tempat persemayaman Tuhan, padahal ‘Arasy juga makhluk-Nya, yang baru ada ketika diciptakan oleh-Nya, dan sifat-sifat kesempurnaan Allah telah ada sebelum adanya ‘Arasy dan segala makhluk lain nya.
Maha suci Allah dari Arah dan tempat.
Filed under: ' Ahlusunnah membantah fatwa sesat wahaby, 'Kesesatan Aqidah wahaby (Rububiyah-Uluhiyah-asmawasifa, Bukti Scan Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin: Aqidah Imam Syafi’i -Allah Tidak Bertempat | Tagged: Bukti Scan Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin: Aqidah Imam Syafi’i -Allah Tidak Bertempat | Leave a Comment »
Bukti scan kitab: Imam Bukhari Menta’wil Tertawa Dengan Rahmat
Posted on July 3, 2012 by admin
Benarkah Salafi Wahabi bermanhaj salaf ? atau cuma Manhaj Salaf Bid’ah yang baru ada sejak masa Ibnu Taymiyah ? ini satu bukti bahwa Salafi Wahabi tidak bermanhaj ulama Salaf, tapi hanya Manhaj Salaf versi baru, sementara hakikat Manhaj Salaf sangat berbeda dengan Manhaj Salaf versi mereka, sudah bukan rahasia lagi bahwa Wahabi sangat anti dengan Ta’wil, semua nash-nash tentang sifat Allah mereka artikan serampangan, tidak peduli adanya pertentangan atau tidak, mereka boleh saja menganggap merekalah yang bertauhid sesuai dengan tauhid para Salafus Sholeh, tapi apakah Ulama Salaf bertauhid seperti tauhid mereka ?
Imam Bukhari yang juga bermanhaj Salaf, tapi tidak sejalan dengan Manhaj Wahabi yakni Manhaj Salaf versi Wahabi, Imam Bukhari sama sekali tidak anti Ta’wil, pertanda bahwa Ta’wil sudah ada sejak Ulama Salaf, dan Ta’wil tidak otomatis telah bertentangan dengan Manhaj Salaf, sehingga harus mengecam Ta’wil secara mutlak.
Berikut bukti Ta’wil dari Imam Bukhari yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqqi dalamkitab al-Asma’ was-Sifat Halaman 459, lihat scan kitab di bawah ini :


Imam Baihaqqi menuliskan :
قال البخاري معنى الضحك الرحمة
“Berkata Imam Bukhari : Makna Al-Dhahak adalah Rahmat”.
Maksudnya : الضحك yang seharusnya bermakna “tertawa” tapi ketika kalimat tersebut disandarkan kepada Allah maka makna nya tidak boleh bermakna dhohir karena dapat terbawa kepada menyerupakan Allah dengan makhluk, Allah tidak bersifat dengan tertawa, maka nya Imam Bukhari menta’wil dari makna tertawa kepada makna yang pantas bagi Allah yaitu Rahmat, maka dapatlah kita pahami bahwa pada kalimat yang mutasyabihat tidak boleh diartikan secara dhohiriyah, oleh karena itu timbullah dua Manhaj Tafwidh dan Ta’wil, seandainya makna dhohiriyah itu tidak bermasalah, maka sungguh tidak akan diperdapatkan metode Ta’wil dari para ulama, karena tidak punya hajat kepada demikian, dan dapat pula kita pahami bahwa metode Tafwidh dari sebagian Ulama Salaf bukan maksudnya beriman dengan makna dhohiriyah lalu mentafwidh kaifiyat, akan tetapi ketika makna dhohir tidak boleh bagi Allah, maka sebagian ulama Salaf mentafwidh makna nya kepada Allah, bukan tafwidh kaifiyat, dan dengan tanpa Ta’wil, baik atas metode Tafwidh atau pun metode Ta’wil sepakat bahwa makna dhohiriyah tidak boleh dan tidak sah bagi Allah, maka Tafwidh dan Ta’wil tidak bertentangan, justru metode Tafwidh sangat bertentangan dengan metode Wahabi yang menetapkan makna dhohir, dan dapatlah dipastikan bahwaManhaj Salaf versi Salafi Wahabi sangat bertentangan dengan Manhaj Salaf Ahlus Sunnah Waljama’ah.
Wallahul muwaffiq.
Filed under: ' Ahlusunnah membantah fatwa sesat wahaby, 'Kesesatan Aqidah wahaby (Rububiyah-Uluhiyah-asmawasifa, *Bongakr Kepalsuan Akidah salafy/wahaby, Bukti scan kitab: Imam Bukhari Menta’wil Tertawa Dengan Rahmat | Tagged: Bukti scan kitab: Imam Bukhari Menta’wil Tertawa Dengan Rahmat | Leave a Comment »
Kitab Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah : bolehkan Dzikir Berjama’ah dan Tahlilan
Posted on June 29, 2012 by admin
Ibnu Taimiyah Membolehkan Dzikir Berjama’ah dan Tahlilan

Pengikut Wahabi sepertinya tidak tahu (atau mungkin lupa) mengenai fatwa Syaikh Ibnu Taimiyah (Ulama yang menjadi rujukan utama kaum salafi wahabi) yang menganggap dzikir berjama’ah dan tahlilan termasuk amal ibadah yang paling utama dan sangat besar pahalanya!.
Dalam hal ini Ibnu Taimiyah berkata :
وَسُئِلَ عن رجل ينكر على أهل الذكر يقول لهم: هذا الذكر بدعة وجهركم فى الذكر بدعة، وهم يفتتحون بالقرآن ويختتمون، ثم يدعون للمسلمين الأحياء والأموات، ويجمعون التسبيح والتحميد والتهليل والتكبير والحوقلة، ويصلون على النبى صلى الله عليه وسلم، والمنكر يعمل السماع مرات بالتصفيق، ويبطل الذكر فى وقت عمل السماع؟
فأجاب:
الاجتماع لذكر الله، واستماع كتابه، والدعاء عمل صالح وهو من أفضل القربات والعبادات فى الأوقات. ففى الصحيح عن/ النبى صلى الله عليه وسلم أنه قال: (إن للَّه ملائكة سياحين فى الأرض، فإذا مروا بقوم يذكرون الله، تنادوا هلموا إلى حاجتكم) وذكر الحديث، وفيه (وجدناهم يسبحونك ويحمدونك). لكن ينبغى أن يكون هذا أحياناً فى بعض الأوقات، والأمكنة، فلا يجعل سنة راتبة يحافظ عليها إلا ما سن رسول الله صلى الله عليه وسلم المداومة عليه فى الجماعات: من الصلوات الخمس فى الجماعات، ومن الجمعات، والأعياد، ونحو ذلك.
وأما محافظة الإنسان على أوراد له من الصلاة، أو القراءة، أو الذكر، أو الدعاء، طرفى النهار وزلفاً من الليل، وغير ذلك، فهذا سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم والصالحين من عباد الله قديما وحديثاً، فما سن عمله على وجه الاجتماع كالمكتوبات، فعل كذلك. وما سن المداومة عليه على وجه الانفراد من الأوراد، عمل كذلك، كما كان الصحابة ـ رضى الله عنهم ـ يجتمعون أحياناً، يأمرون أحدهم يقرأ، والباقون يستمعون. وكان عمر بن الخطاب يقول: يا أبا موسى ذكرنا ربنا، فيقرأ وهم يستمعون، وكان من الصحابة من يقول: اجلسوا بنا نؤمن ساعة، وصلى النبى صلى الله عليه وسلم بأصحابه التطوع فى جماعة مرات، وخرج على الصحابة من أهل الصفة، وفيهم قارئ يقرأ، فجلس معهم يستمع.
/وما يحصل عند السماع والذكر المشروع من وجل القلب، ودمع العين، واقشعرار الجسوم، فهذا أفضل الأحوال التى نطق بها الكتاب والسنة.
وأما الاضطراب الشديد، والغشى والموت والصيحات، فهذا إن كان صاحبه مغلوبا عليه، لم يُلَم عليه، كما قد كان يكون فى التابعين ومن بعدهم. فإن منشأه قوة الوارد على القلب مع ضعف القلب. والقوة، والتمكن أفضل، كما هو حال النبى صلى الله عليه وسلم والصحابة، وأما السكون، قسوة وجفاء، فهذا مذموم لا خير فيه.
وأما ما ذكر من السماع، فالمشروع الذى تصلح به القلوب، ويكون وسيلتها إلى ربها بصلة ما بينه وبينها، هو سماع كتاب الله الذى هو سماع خيار هذه الأمة، لاسيما وقد قال صلى الله عليه وسلم: (ليس منا من لم يتغن بالقرآن) وقال: (زَيِّنوا القرآن بأصواتكم) وهو السماع الممدوح فى الكتاب والسنة. لكن لما نسى بعض الأمة حظاً من هذا السماع الذى ذكروا به، ألقى بينهم العداوة والبغضاء، فأحدث قوم سماع القصائد والتصفيق والغناء مضاهاة لما ذمه الله من المكاء والتصدية، والمشابهة لما ابتدعه النصارى. وقابلهم قوم قست قلوبهم عن ذكر الله، وما نزل من الحق، وقست قلوبهم فهى كالحجارة أو أشد قسوة مضاهاة لما عابه الله على اليهود. والدين الوسط هو ما عليه خيار هذه الأمة قديماً وحديثاً. والله أعلم.
فأجاب:
الاجتماع لذكر الله، واستماع كتابه، والدعاء عمل صالح وهو من أفضل القربات والعبادات فى الأوقات. ففى الصحيح عن/ النبى صلى الله عليه وسلم أنه قال: (إن للَّه ملائكة سياحين فى الأرض، فإذا مروا بقوم يذكرون الله، تنادوا هلموا إلى حاجتكم) وذكر الحديث، وفيه (وجدناهم يسبحونك ويحمدونك). لكن ينبغى أن يكون هذا أحياناً فى بعض الأوقات، والأمكنة، فلا يجعل سنة راتبة يحافظ عليها إلا ما سن رسول الله صلى الله عليه وسلم المداومة عليه فى الجماعات: من الصلوات الخمس فى الجماعات، ومن الجمعات، والأعياد، ونحو ذلك.
وأما محافظة الإنسان على أوراد له من الصلاة، أو القراءة، أو الذكر، أو الدعاء، طرفى النهار وزلفاً من الليل، وغير ذلك، فهذا سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم والصالحين من عباد الله قديما وحديثاً، فما سن عمله على وجه الاجتماع كالمكتوبات، فعل كذلك. وما سن المداومة عليه على وجه الانفراد من الأوراد، عمل كذلك، كما كان الصحابة ـ رضى الله عنهم ـ يجتمعون أحياناً، يأمرون أحدهم يقرأ، والباقون يستمعون. وكان عمر بن الخطاب يقول: يا أبا موسى ذكرنا ربنا، فيقرأ وهم يستمعون، وكان من الصحابة من يقول: اجلسوا بنا نؤمن ساعة، وصلى النبى صلى الله عليه وسلم بأصحابه التطوع فى جماعة مرات، وخرج على الصحابة من أهل الصفة، وفيهم قارئ يقرأ، فجلس معهم يستمع.
/وما يحصل عند السماع والذكر المشروع من وجل القلب، ودمع العين، واقشعرار الجسوم، فهذا أفضل الأحوال التى نطق بها الكتاب والسنة.
وأما الاضطراب الشديد، والغشى والموت والصيحات، فهذا إن كان صاحبه مغلوبا عليه، لم يُلَم عليه، كما قد كان يكون فى التابعين ومن بعدهم. فإن منشأه قوة الوارد على القلب مع ضعف القلب. والقوة، والتمكن أفضل، كما هو حال النبى صلى الله عليه وسلم والصحابة، وأما السكون، قسوة وجفاء، فهذا مذموم لا خير فيه.
وأما ما ذكر من السماع، فالمشروع الذى تصلح به القلوب، ويكون وسيلتها إلى ربها بصلة ما بينه وبينها، هو سماع كتاب الله الذى هو سماع خيار هذه الأمة، لاسيما وقد قال صلى الله عليه وسلم: (ليس منا من لم يتغن بالقرآن) وقال: (زَيِّنوا القرآن بأصواتكم) وهو السماع الممدوح فى الكتاب والسنة. لكن لما نسى بعض الأمة حظاً من هذا السماع الذى ذكروا به، ألقى بينهم العداوة والبغضاء، فأحدث قوم سماع القصائد والتصفيق والغناء مضاهاة لما ذمه الله من المكاء والتصدية، والمشابهة لما ابتدعه النصارى. وقابلهم قوم قست قلوبهم عن ذكر الله، وما نزل من الحق، وقست قلوبهم فهى كالحجارة أو أشد قسوة مضاهاة لما عابه الله على اليهود. والدين الوسط هو ما عليه خيار هذه الأمة قديماً وحديثاً. والله أعلم.
Ibnu Taimiyah ditanya tentang seorang laki-laki yang mengingkari ahli dzikir, dimana ia memprotes ahli dzikir (berjama’ah) “Ini dzikir bid’ah dan menyaringkan suara didalam dzikir kalian juga bid’ah”. Mereka (ahli dzikir) memulai dan menutup dzikirnya dengan membaca al-Qur’an, kemudian mereka berdo’a untuk kaum muslimin yang hidup maupun yang sudah wafat, mereka mengumpulkan antara bacaan tasybih, tahmid, tahlil, takbir, hawqalah (Laa Hawla wa Laa Quwwata Ilaa Billah), mereka juga bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jawab: Berkumpul untuk dzikir kepada Allah, mendengarkan Kitabullah dan do’a merupakan amal shalih, dan itu termasuk dari paling utamanya qurubat (amal mendekatkan diri kepada Allah) dan paling utamanya ibadah-ibadah pada setiap waktu, didalam hadits Shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang selalu bepergian di bumi, ketika mereka melewati sebuah kaum (perkumpulan) yang berdzikir kepada Allah, mereka (para malaikat) berseru : “Silahkan sampaikan hajat kalian”. Dan disebutkan di dalam hadits tersebut, terdapat redaksi “Dan kami menemukan mereka bertasbih kepada-Mu dan bertahmid memuji-Mu”, akan tetapi selayaknya hal ini di hidupkan kapan saja dan dimana saja, tidak dijadikan sebagai sunnah ratibah yang dirutinkan kecuali apa yang disunnahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berketerusan dalam jama’ah seperti shalat 5 waktu (dilakukan) dalam jama’ah, hari raya dan semisalnya. Adapun umat Islam memelihara rutinitas wirid-wirid baginya seperti shalawat atau membaca al-Qur’an, atau mengingat Allah atau do’a pada seluruh siang dan sebagian malam atau pada waktu lainnya, maka hal ini merupakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang shalih dari hamba-hamba Allah sebelumnya dan sekarang. (Majmu’ al-Fatawa [22/520-521])
Khusus mengenai menghadiahkan pahala kepada mayit, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa barangsiapa mengingkari sampainya amalan orang hidup pada orang yang meninggal maka ia termasuk ahli bid’ah. Dalam Majmu’ fatawa jilid 24 halaman 306 ia menyatakan, “Para imam telah sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama Islam, dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah, dan ijma’ (konsensus) ulama’. Barang siapa menentang hal tersebut, maka dia termasuk ahli bid’ah”.
Dengan demikian apakah kaum Salafi Wahabi berani mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah yang menganjurkan tahlilan dan dzikir berjama’ah termasuk ahli bid’ah dan masuk neraka? ^_^
Bukti Imam Ahmad takwil ayat mutasyabihat dan Kedustaan Wahabi (Utsaimin)
Posted on May 31, 2012 by admin
Imam Ahmad Ahli Tahrif Kata Wahhabi?
Imam Ahmad secara tidak langsung atau langsung telah dituduh oleh wahhabi sebagai ahli Tahrif (mengubah maksud ayat).
Imam Ahmad yang dituduh wahhabi sebagai ahli tahrif menurut pengakuan kebanyakan wahhabi adalah bermadzhab Hanbali, yaitu mengikuti metode Imam Ahmad bin Hanbal dalam fiqih, namun bagaimana bisa Imam yang diikuti itu ternyata sebagai ahli tahrif menurut ‘Ulama pentolan wahhabi sendiri?
Tuduhan Imam Ahmad sebagai ahli tahrif menurut pentolan ‘Ulama wahhabi berlatar belakang dari Imam Ahmad yang dalam menafsirkan salah satu ayat dalam Al Quran tidak menurut dhohirnya, sebagai berikut:
قال تعالى {وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفّاً صَفّاً} (الفجر:22)
Sabda Allah: “Dan datanglah Robbmu sementara para Malaikat bershaf shaf”
تفسير الإمام أحمد رحمه الله: روى البيهقي في مناقب الإمام أحمد عن الحاكم، عن أبي عمرو بن السماك عن حنبل أن أحمد بن حنبل تأول قول الله تعالى قال تعالى {وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفّاً صَفّاً} (الفجر:22) أنه جاء ثوابه. ثم قال البيهقي وهذا إسناد لا غبار عليه. نقل هذا ابن كثير في البداية والنهاية المجلد 10 ص 327.
“Dalam tafsir Imam Ahmad: Imam Bayhaqi meriwayatkan dalam manaqib Imam Ahmad dari Al Hakim, dari Abi ‘Amru bin samak, dari hanbal sesungguhnya Ahmad bin Hanbal mentakwil Sabda Allah (datanglah Robbmu sementara para Malaikat bershaf shaf) sesungguhnya datang pahalaNya, Imam Bayhaqi menjelaskan bahwa sanad ini tidak bernoda sama sekali, ImamIbnu Katsir menuqilnya dalam kitabnya Al Bidayah Wa Al Nihayah jild 10 hal 327”
Adapun Syailh ‘utsaimin dalam masalah ayat tersebut didalam kitabnya yang berjudul “MAJMU’ FATAWA WA AL ROSAIL “ atau anda bisa melihatnya dalam situshttp://www.resaltalislam.com/yang saya ambil screen shootnya seperti di bawah ini:
mengatakannya sebagai berikut:
[فأهل السنة و الجماعة يقولون : نحن نؤمن بهذه الآيات، والأحاديث و لا نحرفها، لأن تحريفها قول على الله بغير علم من وجهين، يتبين ذلك في قوله تعالى {وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفّاً صَفّاً} (الفجر:22) قال أهل السنة والجماعة : جاء ربك أي هو نفسه يجيء، لكنه مجيء يليق بجلاله و عظمته لا يشبه مجيء المخلوقين، ولا يمكن أن نكيفه، و علينا أن نضيف الفعل إلى الله كما أضافه الله إلى نفسه. فنقول: إن الله تعالى يجيء يوم القيامة مجيئاً حقيقياً يجيء هو نفسه، و قال أهل التحريف معناه : و جاء أمر ربك ....]
Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah mereka mengatakan: Kita mengimani ayat ini juga beberapa hadits (yang membicarakan masalah Shifat) dan Kami tidak mentahrifnya, karena mentahrif ayat dan hadits hadits tersebut adalah ucapan mengatasnamakan Allah tanpa Ilmu dari dua segi, hal itu akan jelas dalam Firman Allah {وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفّاً صَفّاً} (الفجر:22), Ahlussunnah wal Jama’ah mengatakan : Datang Tuhanmu yang dimaksud Tuhan datang dengan diiNya, tetapi kedatanganNya yang patut dengan keagungan dan kemulyaanNya, tidak sama seperti kedatangan para Mahluq, dan kita tidak mungkin menteorikan kedatangaNya itu, dan wajib bagi kita untukmenyandarkan perbuatan kepada Allah sebagaimana Allah sendiri menyandarkan perbuatan itu kepada DiriNya sendiri. Maka kami menmgatakan: Allah datamng dihari Qiyamat dengan datang yang sebenarnya, Allah datang dengan Dirinya Sendiri. Dan Orang orang Ahli tahrif mengatakan artinya (Dan datang Robbmu) itu dengan “Dan datang Perintah Robbmu”
Demikianlah Imam Ahmad adalah Ahli Tahrif menurut pandangan ‘Ulama wahhabi Syaikh Al ‘utsaimain, sebab Imam Ahmad telah mentakwil ayat tersebut dengan yang tidak seperti mereka katakan atau tidak mengartikan sesuai apa adanya. (By warkopmbahlalar)
Bukti aqidah madzab hambali yang haq dalam kitab kitab imam aljauzi aalhambali yang hidup 1 abad sebelum Ibnu taymiyah:
Imam al jauzi (wafat 597 H) (Scanned Kitab Daf’u Syubah al-Tasybih bi-Akaffi al-Tanzih-): Jelaskan Siapa Penyebab dan Penyebar Ajaran Mujasimmah di Kalangan pengikut Imam Hambali
Imam al jauzi (Kitab Daf’u Syubah al-Tasybih bi-Akaffi al-Tanzih): Jelaskan Siapa Penyebab dan Penyebar Ajaran Mujasimmah di Kalangan pengikut Imam Hambali
1. Imam al jauzi jelaskan kenapa ada golongan mujasimmah dalam pengikut madzab hambali dan sebutkan biang keroknya




Judul : Daf’u Syubah al-Tasybih bi-Akaffi al-Tanzih
Karya : al-Imam al-Hafidz Abul Faraj ‘Abdurrahman bin al-Jauzi al-Hanbali (w 597 H)
Kompilasi ebook kedalam format CHM oleh: http://www.ashhabur-royi.blogspot.combekerjasama dengan http://www.pustakaaswaja.web.id
Al-Imâm al-Hâfizh al-‘Allâmah Abul Faraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as-Shiddiqi al-Bakri berkata (original Scanned kitab page 98 -101):
“Aku melihat ada beberapa orang dalam madzhab Hanbali ini yang berbicara dalam masalah akidah dengan pemahaman-pemahaman yang ngawur. Ada tiga orang yang menulis karya terkait dengan masalah ini, yaitu; Abu Abdillah bin Hamid, al-Qâdlî Abu Ya’la (murid Abu Abdillah bin Hamid), dan Ibn az-Zaghuni. Mereka semua telah menulis kitab-kitab yang telah merusak madzhab Hanbali, bahkan dengan sebab itu aku melihat mereka telah turun ke derajat orang-orang yang sangat awam. Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “إن الله خلق ءادم على صورته”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah” (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata, mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki, sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”, mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”. Lalu –dan ini yang sangat menyesakkan– mereka mengelabui orang-orang awam dengan berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal pikiran”.
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara zahir (literal). Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli. Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya, juga mereka tidak pernah mau melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan.
Begitulah ungkapan keprihatinan Imam Ibnul Jauzi terhadap perjalanan Madzhab Hanbali yang beliau tuliskan didalam muqaddimah kitab Da’fu Syubah al-Tasybih bi-Akaffi al-Tanzih (دفع شبه التشبيه بأكف التنزيه) yakni salah satu karya monumental beliau dalam bidang aqidah. Kitab ini memaparkan kesesatan-kesesatan aqidah tasybih ( menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’alaa dengan makhluk) yang sangat penting untuk dibaca dan disebarkan guna menghalau kelompok-kelompok yang mempropagandakan aqidah tasybih seperti sekte Wahhabiyah dan semisalnya mereka.
Dalam ebook ini juga terdapat pengantar dari penterjemah yang sangat penting untuk dibaca agar anda bisa membedakan antara Ibn Al-Jauzi dengan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, Penjelasan mendalam tentang faham Ibn Taimiyah yang ditentang ulama-ulama terkemuka dari masa ke masa dari generasi ke generasi, Cara mudah membantah ajaran wahabi, dan panduan membaca kitab terjemah Daf’u Syubah At-Tasybih ini.
Segera Download Ebooknya, Gratis!!!
Klik disini : http://www.mediafire.com/?ljb0wwpj1ph66h9 (format CHM)
Ebook ini didedikasikan bagi para pejuang ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah untuk memberantas ajaran Wahabi dan faham-faham menyesatkan lainnya. Halal untuk diperbanyak dengan cara apapun dengan tanpa merubah sedikitpun kandungan yang dimaksud.
Selain E-book dengan format CHM, anda juga bisa mendownload E-book ini dalam format PDF ~dengan isi yang sama~ yang mana dengan format PDF bisa dibaca melalui HP (semua HP yang punya Sistem Operasi baik itu Symbian, Windows Mobile, maupun Android), silahkan download E-book PDFnya disini :http://www.mediafire.com/?kmuu3tgemfk9tf9
Kami sertakan juga link download kitab Daf’u Syubah At-Tasybih دفع شبه التشبيه بأكف التنزيهberbahasa arab bagi anda yang ingin melihat teks arab kitab ini. Silahkan download disini: http://www.mediafire.com/?whb05pg0xd5284k ( Format PDF, Size 6,4 Mb)
Bermanfaat, Insya Allah!!
2. al Imam al Hafizh Ibn al Jawzi Membongkar Kesesatan Aqidah Tasybih wahabi (penyembah dajjal keriting) ((( Mewaspadai Ajaran Wahabi )))
No comments:
Post a Comment